JAKARTA - Fenomena Unrealized Loss (UL) atau kerugian yang terjadi (yang masih belum direalisasikan) menjadi momok menakutkan bagi dunia investasi karena berpotensi menjadi ancaman kriminalisasi setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) RI melakukan penyidikan terhadap BPJS Ketenagakerjaan (BPJamsostek). Masyarakat dikagetkan dengan tuduhan kerugian tidak wajar, yang berpotensi pidana pada UL portofolio saham BPJamsostek.
“Kerugian ini, terkesan dipaksakan, seolah sama dengan kerugian dalam kasus Jiwasraya. Padahal, hasil kajian menunjukkan proses investasi portofolio BPJamsostek sudah prudent dan sesuai kaidah-kaidah investasi. Alokasi aset telah memperhatikan aspek pengelolaan resiko yang relatif baik,” ujar Profesor Keuangan Investasi dari IPMI International Business School Roy Sembel dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Roy Sembel, di dalam masing-masing kelas aset dilakukan strategi pemilihan sekuritas (securities selection) atau manager investasi yang cocok dengan tujuan investasi. Syarat pemilihan manager investasi relatif ketat yakni harus mempunyai dana kelolaan minimal Rp 1,5 triliun. Selain itu data portofolio sahamnya diinvestasikan pada saham-saham LQ-45 atau didominasi saham-saham berkapitalisasi pasar besar dan relatif likuid.
Penurunan dan kenaikan harga saham sangat tergantung pada perkembangan pasar modal di Indonesia. Unrealized loss sejalan dengan perkembangan pasar saham Indonesia. Hal itu tercermin dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terdampak krisis pandemi dan resesi ekonomi. Bukti menunjukkan, unrealized loss naik turun sesuai naik turunnya IHSG.
Pada saat IHSG di level 5.979 (31 Desember 2020) unrealized loss mencapai Rp 22,308 triliun, tapi ketika IHSG di level 6.429 (20 Januari 2021) lalu, unrealized loss nya menurun menjadi Rp14,417 triliun atau 2,91 persen dari total portofolio Rp 495 triliun yang sebagian besars disebabkan penurunan kinerja emiten BUMN.
“Bukan tak mungkin, ketika IHSG di level 7.000, bukan unrealized loss, tapi bisa berbalik arah menjadi unrealized gain. Ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya harga saham, namun yang paling penting saham BPJS-TK likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang besar,” kata Roy Sembel.
Sembel menjelas, temuan itu berbeda dengan kerugian portofolio investasi pada kasus Jiwasraya. Portofolio saham-saham Jiwasraya termasuk golongan saham kualitas rendah, tidak likuid dan mempunyai kaplitalisasi pasar yang kecil. Banyak orang menyebutnya sebagai saham-saham “gorengan”.
“Banyak perbedaan riil antara kerugian Jiwasraya yang sudah realized loss dengan unrealized loss di BPJamsostek. Persyaratan pemilihan manager investasi di BPJamostek sangat ketat, sementara di Jiwasraya longgar,” ujarnya.
Alokasi aset kedua perusahaan pun berbeda. Misalnya, porsi saham dan reksadana di Jiwasraya lebih dari 91 persen pada 31 Desember 2019. Sementara di BPJamsostek pada 31 Desember 2020 lalu hanya 23,56 persen untuk porsi saham dan reksadana. Selain itu-saham-saham blue chip yang dimiliki BPJamsostek berfundamental bagus sehingga berbeda dengan portofolio saham Jiwasraya pada umumnya.
BPJamsostek yang mengelola dana sebesar Rp 484,38 triliun merupakan investor institusional dalam negeri yang dapat berperan dalam peningkatan pendalaman pasar finansial di Indonesia.
Kesimpulannya, unrealized loss pada portofolio investasi saham BPJamsostek berbeda dengan kasus kerugian Jiwasraya. Unrealized loss BPJamsostek adalah wajar sebagai risiko wajar dari investasi saham di pasar modal dan bisa kembali untung saat pasar kembali ke level sebelum pandemi.
“ Unrealized loss ini tidak logis dikategorikan sebagai kerugian hasil manipulasi yang berpotensi pidana. Lebih pada risiko bisnis yang sudah dikalkulasi dengan baik,” katanya.