TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menilai keberadaan polisi virtual (virtual police) merupakan bentuk pengawasan 24 jam oleh negara.
“Polisi virtual tidak lain tidak bukan bentuk pengawasan negara 24 jam kepada warga. Karena negara berada di tengah untuk mengawasi seluruh percakapan kita,” kata Damar dalam diskusi Aktivisme Digital, Polisi Siber dan Kemunduran Demokrasi, Kamis, 4 Maret 2021.
Kepala Kepolisian RI Jenderal atau Kapolri Listyo Sigit Prabowo sebelumnya mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Pembentukan polisi virtual ini berdasarkan pedoman huruf c dari surat edaran. Yaitu mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
Cara kerja polisi virtual adalah dengan mengirimkan peringatan virtual melalui direct message. Selain mengingatkan, polisi virtual juga meminta warga melakukan koreksi. Kesempatan koreksi diberikan 2 kali dengan tempo maksimal 1 kali 24 jam.
Baca juga: LP3ES: Virtual Police Menciptakan Persepsi Ancaman
Menurut Damar, pengawasan tersebut merupakan upaya panoptican yang bertujuan mendisiplinkan warga. Karena berada di ruang digital, Damar pun menyebutnya dengan istilah digital panopticon. “Kalau warga keliru maka akan cepat-cepat dilakukan upaya korektif,” kata dia.
Dengan adanya upaya tersebut, Damar menilai, bahwa Indonesia tengah menghadapi otoritarianisme digital. Dalam otoritarianisme digital itu ada 3 hal pokok yaitu sensor online, pengawasan siber, dan upaya kontrol terhadap infrastruktur.
“Dan kalau terus membiarkan ini akan menjadi hambatan besar pada aktivisme digital. Ini adalah bentuk penindasan teknologikal, bisa menghambat kita,” kata Damar soal virtual police.
FRISKI RIANA