Namun di sisi lain, Saiful menilai revisi UU ITE belum tentu dapat menjawab masalah kebebasan berpendapat yang marak terjadi. Terlepas dari adanya UU ITE, Saiful mengatakan, kriminalisasi terhadap dirinya adalah hasil pola relasi kuasa di kampus yang sudah tak sehat.
Relasi kuasa ini disebutnya tak terlepas dari diberlakukannya peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bahwa Menteri memiliki 35 persen suara untuk pemilihan rektor, kemudian rektor memiliki 35 persen suara untuk pemilihan dekan. Di sejumlah kampus, kata dia, seorang rektor bahkan bisa menentukan siapa yang menjadi ketua program studi hingga kepala laboratorium.
Saiful juga bercerita beberapa koleganya meminta maaf lantaran tak dapat menyatakan dukungan secara terbuka. Sebagian rekan yang sempat datang ke persidangan untuk menunjukkan dukungan moril pun dihubungi oleh pimpinan kampus.
"Ini ancaman, sudah terjadi perusakan yang luar biasa. Penurunan yang luar biasa untuk kebebasan akademik di kampus," kata Saiful.
Model relasi kuasa seperti itu, kata Saiful, adalah ironi di saat kampus dianggap benteng moral terakhir dan benteng demokrasi. Dia mengatakan banyak fakta belakangan ini yang menunjukkan kampus tak lagi demokratis.
"Jadi revisi UU ITE sendiri sepertinya tidak cukup untuk memastikan ruang berekspresi warga negara yang dijamin konstitusi dan ruang berekspresi akademisi bisa kita pertahankan," ujar dia.
BUDIARTI UTAMI PUTRI