TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Saiful Mahdi menceritakan pengalaman menjadi korban Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unsyiah Kuala ini kini berstatus terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik karena kritiknya di sebuah grup Whatsapp.
Saiful mengatakan kini tengah menunggu proses kasasi di Mahkamah Agung. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis dirinya tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan penjara setelah melalui 18 kali sidang.
"Proses itu pembelajaran luar biasa untuk saya, tetapi juga sangat melelahkan, menyakitkan, di sana-sini merasa terintimidasi. Tetapi dengan dukungan keluarga dan kawan-kawan, dari nasional bahkan internasional, saya bisa bertahan," kata Saiful dalam webinar, Jumat, 19 Februari 2021.
Kasus Saiful bermula ketika dia menulis di grup Whatsapp 'Unsyiah Kita' pada Maret 2019 mengkritik hasil penerimaan CPNS di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala pada tahun 2018. Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, Taufiq Saidi, kemudian melaporkan Saiful ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama berbekal tulisan di grup Whatsapp itu.
Kasus ini tak pelak menimbulkan banyak ekses bagi Saiful. Dia mengaku relasi sosialnya di masyarakat maupun dengan kolega kampus terganggu akibat kasus ITE ini. Meski begitu, Saiful mengaku tetap bertahan di Universitas Syiah Kuala kendati banyak hal tak nyaman yang dirasakan.
"Semakin ingin diusir, saya semakin ingin bertahan karena kita perlu membalikkan narasi bahwa ini ruang publik, lembaga publik," kata Saiful.
Baca juga: KontraS Duga Anak Buah Jokowi Tak Menangkap Pesan soal Revisi UU ITE
Dia pun berharap Undang-undang ITE direvisi secara menyeluruh agar tak lagi mengekang kebebasan berpendapat. Saiful yang kini bergiat di Paguyuban Korban UU ITE atau Paku ITE ini menyebut undang-undang itu menjadi ancaman besar untuk demokrasi yang diperjuangkan sejak reformasi.