TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga dari Pendeta Yeremia Zanambani yang menjadi korban pembunuhan yang diduga dilakulan oleh anggota TNI telah menyetujui autopsi atas jasat korban. "Keluarga koban menyetujui autopsi dapat dilakukan dengan beberapa persyaratan wajib yang harus dipenuhi," ujar Yohanis Mambrasar, Anggota Tim Kuasa Hukum Keluarga Korban dalam keterangannya, Minggu 14 Februari 2021.
Syarat tersebut di antaranya, autopsi dilakukan oleh Tim Medis yang independen, yang disetujui oleh pihak keluarga korban. Kemudian, autopsi harus dilakukan secara adil dan trasparan, dengan melibatkan pengamatan langsung pihak keluarga korban, lembaga-lembaga independen, yaitu : Komnas HAM, Kuasa Hukum Keluarga korban dan Saksi, Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua, Amnesti Internasional Indonesia, DPRD Kabupaten Intan Jaya dan Persekutuan Gereja-Gereka Indonesia/PGI. Terakhir, proses autopsi dilakukan di Hitadipa, Intan Jaya.
Pernyataan persetujuan autopsi ini telah disampaikan dalam bentuk surat pernyataan persetujuan autopsi yang di tanda tangani oleh istri korban Mariam Zoani dan dua anaknya yaitu Yedida Zanambani da Rode Zanambani. Surat ini telah diberikan secara langsung kepada Penyidik, yang diterima langsung oleh Kasat Reskrim Polres Intan Jaya, pada 12 Februari 2020, di Kota Nabire.
Baca: Usut Dugaan Anggotanya Terlibat Penembakan Pendeta Yeremias, TNI Kirim Tim
Dengan disepakatinya autopsi terhadap jenasah Pendeta Yeremia Zanambani oleh pihak keluarga, maka kuasa hukum mendorong Penyidik agar dapat melakukan autopsi secara benar, adil dan trasparan. Penyidik juga harus memenuhi permintaan keluarga dengan mengunakan tim medis autopsi yang dipilih oleh keluarga korban, serta proses autopsi harus dilakukan di Hitadipa Intan Jaya, dengan melibatkan pengamatan langsung oleh lembaga-lembaga HAM. "Selanjutnya proses hukum kasus ini dapat didorong pada tahapan penyidikan selanjutnya, serta dilanjutkan pada proses hukum penuntutan dan persidangan di pengadilan HAM, sebagaimana permintaan keluarga korban," ujarnya.
Sebelumnya dalam pernyataan pertama yang disampaikan pada 12 November 2020, keluarga korban telah menyatakan kasus ini harus disidangkan di Pengadilan HAM sesuai mekanisme UU Pengadilan HAM nomor 26 Tahun 2000. Keluarga Korban menyakini pengadikan HAM merupakan mekanisme hukum yang dapat efektif menyelesaikan perkara ini secara benar dan memberikan keadilan bagi korban.
Sebaliknya keluarga korban tidak menyetujui kasus ini diselesaikan di pengadilan Militer seperti kasus lain yang sedang didorong oleh pihak Penyidik dan Pemerintah, karena bagi keluarga korban pengadilan militer tidak akan memberikan keadilan untuk mereka. "Ini telah terbukti dengan proses hukum perkara lainnya, yaitu: kasus pembakaran rumah petugas medis dan penculikan 2 warga lainnya yaitu Luter Zanambani dan Apilus Zanambani, yang juga terjadi di Distrik Hitadipa, yang proses hukumnya hanya menyasar pelaku lapangan, namun tidak menyentuh pelaku penangungjawab komando di Intan Jaya," ujarnya.
Pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani merupakan pelanggaran HAM Berat, ini terbukti dengan tindakan yang dilakukan melalui penyerangan aparat TNI berdampak pada kekerasan terhadap masyarakat sipil termasuk korban, di Intan Jaya. Ia menyebut tindakan dalam kasus ini telah memenuhi unsur-unsur kejahatan kemanusiaan pelanggran HAM berat yang diatur dalam Pasal 7 huruf 'b' jo Pasal 9 huruf 'a', 'd' dan 'i' UU Pengadilan HAM.