TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai perubahan atau revisi UU Pemilu untuk memperbaiki masalah teknis dan keadilan elektoral tetap mendesak dilakukan.
"Bagi saya dan Perludem, meski pemerintah dan parpol tidak menghendaki perubahan jadwal pemilu dan pilkada, kami sayangkan ya. Kami sangat khawatir akan terjadi kekacauan elektoral," kata Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini dalam diskusi, Kamis, 11 Februari 2021.
Titi mencontohkan kasus yang terjadi pada Bupati Sabu Raijua terpilih, Orient Riwu Kore, yang baru diketahui berkewarganegaraan Amerika Serikat setelah ditetapkan sebagai pemenang Pilkada 2020. Menurut Titi, tidak ada dalam UU Pilkada yang secara spesifik dapat menjawab fenomena hukum yang menimpa Orient.
"Makanya sekarang berdebat kita harus apa, bagaimana status Orient. Karena ada kekosongan hukum di UU Pilkada," ujarnya.
Baca: Perludem Paparkan Ruwetnya Pemilu dan Pilkada Jika Digelar 2024
Contoh lainnya, penyelenggaraan pemilu di tengah bencana nonalam perlu ada penyesuaian di level undang-undang. Pengokohan penggunaan teknologi rekapitulasi suara di pemilu juga hanya bisa dilakukan jika UU Pemilu direvisi.
Titi juga menuturkan bahwa hasil pemilu di Indonesia terlalu lama, yaitu 35 hari setelah pemungutan suara baru ditetapkan hasil. Karena waktu terlalu lama, akibatnya ada spekulasi, hoaks, dan polarisasi makin melebar.
Dengan revisi UU Pemilu, Titi menilai dapat menguatkan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan. Sebab, kebijakan afirmasi terhadap perempuan sejak 2009 tidak mengalami perkembangan alias mandek. "Itu pintu masuknya di UU, kalau berharap di parpol langkahnya sangat lama. Saya berharap DPR jernih melihat pemilu instrumen diplomasi global kita yang sesungguhnya membantu kualitas demokrasi terjaga," kata dia.
FRISKI RIANA