TEMPO.CO, Jakarta - Epidemolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengingatkan pemerintah terhadap potensi bahaya dalam penerapan sistem zonasi tingkat RT dalam pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro, yang diterapkan dari 9 Februari hingga 22 Februari 2021.
"Kita ini berani-beraninya melakukan me-lockdown RT risiko tinggi dan membebaskan RT dengan risiko rendah. Padahal kita tak tahu persis apa betul yang risiko rendah itu benar resiko rendah," kata Windhu saat dihubungi Tempo, Rabu, 10 Februari 2021.
Windhu merujuk pada sistem zonasi risiko yang diterapkan di tingkat RT. Dari empat kategori zonasi, hanya zona merah dan oranye yang diterapkan pembatasan kegiatan masyarakat dan ditutup tempat-tempat umumnya. Sedangkan di RT dengan zona hijau dan kuning, hanya pengawasan yang dilakukan dan masyarakat masih bisa bergerak.
Baca juga: Kemendagri Jelaskan Beda PPKM Jilid 1-2 Dengan PPKM Mikro
"Padahal kita tak tahu persis apa betul yang resiko rendah itu benar resiko rendah. Mungkin di sana ternyata ada kasus, tapi karena testing kita lemah, kita nggak dapet bahwa di situ ada penularan yang besar. Jadi itu sangat berbahaya, itu bisa jadi bom waktu," kata Windhu.
Ia menduga pemerintah mencoba meniru Hong Kong yang melakukan lockdown mikro hingga tingkat blok. Namun Windhu mengingatkan Hong Kong bisa melakukan itu karena mereka punya peta sebaran Covid-19 hingga tiap blok. Testing Hong Kong hingga pekan kemarin, kata Windhu, sudah mencapai 86 persen dari jumlah penduduk.
"Artinya mereka betul-betul punya peta mana blok risiko tinggi, mana blok resiko rendah. Yang mereka lockdown adalah yang resiko tinggi. Yang zona aman, itu boleh bergerak," kata Windhu.
Hal itu kata dia, belum terjadi di Indonesia. Sampai hari ini, Windhu mengatakan baru 2,5 persen testing rate penduduk Indonesia. Dari 202 negara yang melaporkan testingnya, Indonesia itu ada di peringkat 159.
"Kita yang penduduknya 270 juta, hanya ngetes 6 juta orang lebih sedikit hingga kemarin. Nggak sampai 2,5 persen. Jadi kita ini seperti sekarang ini berjalan dengan peta buta," kata Windhu.
Ia mengatakan seharusnya, semakin lemah testing dan tracing suatu negara, semakin makro juga lockdown atau PPKM yang diterapkan. Minimal satu kota satu kabupaten. "Tak bisa kita pakai satu RT/RW, kita bisa keliru. Jika kuat testing dan tracing kita, makin kita bisa melakukan testing yang makin mikro. Jadi instruksi ini tidak berbasis pada ilmu pengetahuan," kata Windhu.