TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai NasDem Saan Mustopa menanggapi adanya persepsi bahwa usulan Pilkada digelar 2022 dan 2023 demi memuluskan jalan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi Capres di Pilpres 2024. Saan mengatakan anggapan itu menunjukkan cara berpikir yang sempit.
"Kalau yang mempersepsikan mau normalisasi pilkada demi Anies, itu berpikirnya sempit. Pilkada (2022 dan 2023) kan bukan hanya DKI," kata Saan ketika dihubungi, Kamis, 28 Januari 2021.
Saan mengatakan ada beberapa alasan perlu dilakukan normalisasi pilkada pada 2022 dan 2023. Pertama, kata dia, kualitas elektoral pilkada akan mengalami penurunan luar biasa jika disatukan atau serentak di tahun 2024.
Merujuk Undang-undang Pemilu dan Pilkada saat ini, pemilihan legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah akan digelar berturut-turut dalam beberapa bulan di 2024. Saan mengatakan penyelenggara pemilu akan sangat kerepotan lantaran tahapan pilkada bakal berimpitan dengan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.
Partai politik pun disebutnya akan sangat sibuk. "Belum selesai pileg, disibukkan dengan pilpres, lalu rekrutmen calon kepala daerah yang jumlahnya lebih dari 500 plus 34," kata Saan.
Saan juga menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55 Tahun 2019 tentang keserentakan pemilu. Menurut dia, ada momentum bahwa putusan itu harus diterjemahkan melalui revisi UU Pemilu.
Baca juga: Pengamat Sebut Anies akan Dapat Panggung Jika Pilkada 2022 Digelar
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pemilu serentak lima kotak seperti 2019 bukanlah satu-satunya pilihan keserentakan. MK menyebutkan bahwa desain keserentakan pemilu harus yang memperkuat sistem presidensial.
Berbagai usulan desain keserentakan pun mengemuka. Misalnya pemilu serentak nasional (presiden, DPR, DPD) dan pemilu serentak daerah (kepala daerah dan DPRD), atau pemilu serentak eksekutif (presiden dan kepala daerah) dan pemilu serentak legislatif (DPR, DPRD, DPD).
Saan mengatakan pada intinya putusan MK itu harus diterjemahkan melalui revisi undang-undang. Mengingat beratnya Pemilu Serentak 2019 lalu dengan sistem lima kotak, ia menilai akan sangat berat jika pilkada harus digelar di tahun yang sama.
Saan mengingatkan banyaknya petugas yang menjadi korban saat Pemilu Serentak 2019 lalu. Selain itu, pileg pun tereduksi ketimbang pemilihan presiden yang lebih menyedot perhatian publik.
"Kemudian dari sisi pengamanan apakah sanggup. Beda lho mengamankan pilpres dalam konteks nasional dan pilkada, daerah memiliki dinamika sendiri," kata Wakil Ketua Komisi II DPR ini.
Secara teknis, Saan mengatakan jadwal setiap tahapan akan berimpitan. Misalnya, pileg dan pilpres digelar pada bulan April. Pada saat yang sama, tahapan pilkada sudah berjalan. Saat pemungutan suara pilkada berlangsung, bisa saja pilpres dan pileg sedang dalam tahap sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Maka dari itu, Saan mengatakan partainya tetap mengusulkan pilkada dinormalisasi pada 2022 dan 2023, sedangkan pilkada serentak berikutnya digelar pada 2027. Ia menyebut NasDem akan berkomunikasi dengan partai-partai lain, kendati sejumlah fraksi saat ini bersikap menolak revisi. "Sikap politik kan dinamis, bahwa ada dinamika wajar," kata Saan.
Sebelumnya, anggapan bahwa normalisasi pilkada di tahun 2022 dan 2023 demi memuluskan Gubernur DKI ini di Pilpres 2024 dikemukakan oleh Direktur Indo Barometer M. Qodari.
Jika pilkada 2022 digelar, kata Qodari, Anies akan mendapat panggung politik kembali. "Apabila menang, terpilih kembali, maka akan punya panggung lagi di pemerintahan selama dua tahun," ujar Qodari pada Rabu, 27 Januari 2021