TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menilai data izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) pertambangan di Kalimantan Selatan yang disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki sejumlah kelemahan.
"Itu jumlahnya belum ditambahkan dengan IPPKH yang statusnya masih survei dan eksplorasi. Walaupun tidak besar tapi itu juga harus dijelaskan sama KLHK," kata Merah kepada Tempo, Sabtu, 23 Januari 2021.
KLHK sebelumnya merilis data bahwa luas total kawasan hutan di Kalsel sekitar 1,6 juta hektare, dengan 950.800 hektare merupakan kawasan hutan lindung dan produksi. Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan dilakukan melalui IPPKH.
KLHK merilis data IPPKH aktif di Kalsel sampai 2020 ada sebanyak 93 unit dengan luas 56.243 hektare atau 5,92 persen dari luas kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Dari 93 unit, sebanyak 87 unit dengan luas 55.078 hektare atau 5,79 persen dari luas kawasan hutan lindung dan produksi merupakan IPPKH pertambangan.
Menurut Merah, IPPKH dengan luas 56.243 hektare itu hampir setara dengan luas wilayah DKI Jakarta. "Jadi, kalau dilihat itu KLHK telah memberikan izin alih fungsi atas nama IPPKH meminjamkan atau menjual kawasan hutan, mengobralnya pada korporasi baik sawit, tambang dengan luas 56 ribu hektare hampir 90-an persen setara luas DKI," katanya.
Baca juga: Banjir Kalsel Merusak 209.884 Hektare Lahan Pertanian
Merah menuturkan, data IPPKH yang disampaikan KLHK itu pun baru Kalimantan Selatan saja. Jika dibandingkan secara nasional, ia menyebut IPPKH ada 1.034 unit seluas 499.655,57 hektare yang diterbitkan sejak era Menteri KLHK M Prakosa (2001-2004), MS Kaban (2004-2009), Zulkifli Hasan (2009-2014), dan Siti Nurbaya Bakar (2014-sekarang).
"Ini data pemerintah sendiri. Hampir 500 ribu hektare itu kan yang pinjam pakai. 499 ribu itu dua kali luas Kabupaten Bogor. Ini patut ditagih tanggung jawabnya," kata dia.
Dari data tersebut, Merah mengatakan hal itu menunjukkan bahwa kawasan hutan semakin rusak ketika diurus negara. Apalagi, menteri-menterinya merupakan wakil parpol. "Kalau mau menyelamatkan hutan Indonesia, urus dulu KLHK yang isinya dikuasai oligarki parpol," ujar Merah.