TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 yang mengatur tentang kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak sebagai aturan populis. Di sisi lain, ICJR menilai beleid ini bukti pemerintah tak memprioritaskan korban.
"Sejak awal ICJR menilai hukuman kebiri kimia adalah aturan yang bersifat populis. Sampai saat ini komitmen pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung mundur," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulis, Senin, 4 Januari 2021.
Erasmus mengatakan kelompok masyarakat sipil telah menyampaikan kritik sejak aturan kebiri kimia ini tercetus pada 2016. ICJR bersama KPI, Ecpat, dan Mappi FH UI mengingatkan tentang praktik di negara lain bahwa perlu banyak sumber daya dan anggaran mahal untuk menyiapkan dan membentuk sistem perawatan kebiri kimia yang tepat.
Sampai saat ini, kata dia, pemerintah dan kementerian terkait tak pernah memberikan penjelasan ihwal gambaran pendanaan yang harus disediakan untuk menerapkan sistem yang mahal ini. Di samping itu, Erasmus mengatakan sistem kebiri kimia ini pun tak sesuai dengan pendekatan kesehatan.
"Dari proyeksi yang bisa dilakukan, anggaran yang dikeluarkan tidak akan sedikit. Karena selain pelaksanaan kebiri kimia, akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia," ujar dia.
Dalam PP Nomor 70 Tahun 2020, tertulis bahwa sumber anggaran pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Erasmus mengatakan fakta mahalnya anggaran kebiri kimia ini diperparah dengan minimnya anggaran yang disediakan negara untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana, termasuk korban kekerasan seksual. Contoh sederhananya, kata Erasmus, anggaran lembaga yang menangani korban seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) justru terus dipangkas.
Erasmus menjelaskan, berdasarkan data LPSK, jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan LPSK terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2015 misalnya, ada 148 layanan korban yang diberikan lembaga tersebut. Angkanya meningkat menjadi 9.308 layanan pada 2019.
Namun, anggaran yang diberikan kepada LPSK sejak 2015 hingga 2020 malah terus mengalami penurunan cukup signifikan. Anggaran LPSK pada 2015 sebanyak Rp 148 miliar, sedangkan pada 2020 anggaran layanan LPSK hanya Rp 54,5 miliar.