Ubed menyebutkan ada dua hal penting yang menunjukkan kehadiran kelompok anarko. Pertama, menunjukkan kegagalan negara mewujudkan keadilan ekonomi, hukum maupun sosial di engah masyarakat. "Ketidakadilan itu mendorong ketidakpercayaan generasi pada pemerintah, sehingga memilih jalan melawan dengan tindakan kekerasan," kata dia.
Kedua, menunjukkan kegagalan aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi edukasi hukum kepada suatu generasi. Ini juga dipicu oleh performa yang buruk dari aparat, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan generasi pada aparat. Ketidakpercayaan itu menimbulkan kekecewaan kolektif, sehingga memilih jalan anarko.
Pemikir anarkisme, kata Ubed, terbaca dalam gagasan Mikhail Bakunin (1814-1876) yang sering disebut sebagai peletak dasar pemikiran anarkisme, dalam bukunya Stateless Socialism: Anarchism.
Menurut Ubed, Mikhail Bakunin bukan lah seorang komunis, karena ia menentang komunis. Mikhail Bakunin menilai komunis menghendaki otoritas negara dan pada akhirnya cenderung otoriter dan diktator.
Di Indonesia, Ubed menilai diskursus tentang anarko sudah ada sejak zaman revolusi kemerdekaan. Tetapi, fenomena yang mendekati defisini Mikhail Bakunin itu ada sejak akhir era Orde Baru atau tahun 1990-an.
Ubed mengatakan, kelompok anarko ini makin tumbuh subur seiring dengan kegagalan pemerintah menciptakan keadilan ekonomi, sosial, dan hukum. "Jadi kunci meminimalisir kelompok anarko adalah pemerintah harus berbuat adil dan mampu mewujudkan keadilan ekonomi, sosial, dan hukum di tengah masyarakat," ujarnya.