TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengkritik Kepolisian Republik Indonesia yang meredam dan melarang aksi unjuk rasa dan mogok nasional menolak Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja. Hal itu tertuang dalam telegram Kepala Polri tertanggal 2 Oktober 2020.
"Kami mengingatkan Kapolri bahwa dalam UUD 1945 dan amandemennya Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah “alat negara” dan bukan alat pemerintah," kata Ketua YLBHI Asfinawati dalam keterangan tertulis, Senin, 5 Oktober 2020.
Dalam telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020, Kapolri menginstruksikan beberapa hal untuk jajarannya terkait rencana aksi unjuk rasa dan mogok nasional kelompok buruh dan masyarakat sipil lainnya menolak RUU Cipta Kerja.
Beberapa instruksi di antaranya melaksanakan giat fungsi intelijen dan deteksi dini; mencegah, meredam, dan mengalihkan aksi unjuk rasa dengan dalih mencegah penyebaran Covid-19; patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk membangun opini publik yang tak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi.
Kemudian kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah; secara tegas tak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya; melakukan upaya di hulu atau titik awal sebelum berkumpulnya massa; dan penegakan hukum menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Asfinawati mengatakan tak pernah ada perlakuan seperti ini terhadap aksi-aksi dengan tema lain sebelumnya. Ia menyebut sulit dibantah telegram ini muncul karena RUU Cipta Kerja adalah inisiatif pemerintah. Presiden Joko Widodo pun sejak awal menginginkan RUU ini rampung dalam 100 hari.
"Kami mendesak Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri untuk tidak mengganggu netralitas serta independensi yang seharusnya diterapkan Polri," kata Asfinawati.
Asfinawati mengatakan Presiden dan Kapolri mesti menghormati Undang-undang Dasar 1945 dan amandemennya serta Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya, termasuk pendapat di muka umum.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI M. Isnur mengatakan Polri tak memiliki hak mencegah aksi unjuk rasa. Sebaliknya kata dia, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadpa pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.
Isnur juga menilai Polri diskriminatif jika menyasar peserta aksi dengan alasan pandemi Covid-19. Padahal sebelumnya banyak keramaian yang bahkan tak menaati protokol kesehatan seperti di perusahaan, pusat perbelanjaan, hingga bandara.
"Sebelumnya dua aksi tolak omnibus law sebelumnya terbukti tidak menimbulkan klaster baru Covid-19," kata Isnur.
Isnur juga menilai Polri menyalahgunakan wewenang jika melakukan kontra-narasi isu-isu yang dianggap mendiskreditkan pemerintah. Menurut dia, kata mendiskreditkan adalah tafsiran yang subyektif dan berpotensi menghambat kritik publik kepada pemerintah.
Selanjutnya, YLBHI mempertanyakan alasan UU Kekarantinaan Kesehatan untuk melakukan penegakan hukum terhadap peserta aksi. Isnur mengatakan, Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan baru berlaku saat terjadi akibat dan tidak mungkin diketahui pada saat aksi atau sebelum aksi.
"Berbagai laporan menunjukkan klaster perkantoran tetapi Polri tidak pernah menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan untuk pengusaha ataupun pejabat yang memerintahkan pekerja/pegawai tetap bekerja," kata Isnur.