TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nasir Djamil mengimbau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menjelaskan rekomendasi ihwal penundaan pilkada 2020 secara langsung kepada Presiden Joko Widodo. Penundaan itu dilakukan lantaran angka kasus Covid-19 di Indonesia semakin tinggi.
"Seharusnya memang Komnas HAM diundang oleh DPR, kalau perlu, presiden yang undang Komnas HAM atau Komnas HAM menyurati presiden untuk meminta waktu, berdasarkan apa rekomendasi mereka," kata Nasir saat dihubungi pada Sabtu, 12 September 2020.
Selain itu, kata Nasir, Komnas HAM harus menjelaskan dasar rekomendasi tersebut, apakah rekomendasi itu dikeluarkan hanya berdasar pengamatan di sejumlah pemberitaan atau memang Komnas HAM sudah meminta pendapat dari sejumlah ahli.
Menurut Nasir, jika Komnas HAM hanya sekedar mengeluarkan rekomendasi biasa, akan tampak sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Padahal Komnas HAM terhitung sebagai lembaga negara.
"Kalau sekedar rekomendasi, apa bedanya dgn LSM?" ucap Nasir.
Komisioner Komnas HAM, Hairansyah sebelumnya meminta pemerintah, Komisi Pemilihan Umum dan DPR menunda pilkada 2020 sampai situasi kondisi penyebaran Covid-19 berakhir atau minimal mampu dikendalikan berdasarkan data epidemiologi yang dipercaya. Sebab, ia melihat kondisi penyebaran Covid-19 belum dapat dikendalikan dan mengalami tren peningkatan, terutama di hampir semua wilayah penyelenggara pilkada.
Selain itu, berdasarkan data pemerintah per 10 September 2020 menunjukkan peningkatan sebaran. Perkembangan kasus kumulatif pada hari itu menunjukkan peningkatan sebanyak 3.861 kasus.
"Hal ini sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, karena kesehatan dan keselamatan baik penyelenggaraan, paslon, dan pemilih dipertaruhkan," kata Hairansyah.
Komnas HAM juga menyoroti adanya 59 paslon yang dikonfirmasi positif Covid-19 setelah menjalani tes usap. Juga munculnya Bawaslu menjadi klaster di Boyolali karena 70 pengawas pemilu terkonfirmasi positif. "Hal ini menunjukkan klaster baru pilkada benar adanya."
Menurut Hairansyah, bila pelaksanaan pilkada tetap berjalan, ada kekhawatiran akan semakin tidak terkendalinya penyebaran Covid-19. Dari segi hak asasi manusia, kata dia, hal ini berpotensi melanggar hak-hak, antara lain hak untuk hidup, kesehatan, dan rasa aman.
Penundaan ini juga seiring dengan kebijakan yang dikeluarkan UN tentang Policy brief on election Covid-19 bahwa pemilu yang dilakukan secara periodik bebas dan adil tetap menjadi suatu hal yang penting. "Namun harus lebih memperhatikan kesehatan dan keamanan publik dengan menimbang pada keadaan darurat yang terjadi saat ini," ujar Hairansyah.