TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mengatakan ada sekitar 30 masyarakat sipil yang kritis atas kebijakan pemerintah menjadi korban serangan digital.
"Serangan digital sejak tahun lalu sampai sekarang setidaknya sudah 30-an korban dari 24 atau 25 kasus," kata Damar kepada Tempo, Jumat, 21 Agustus 2020.
Damar mengatakan, korban serangan digital itu masuk dalam kategori high profile. Artinya, mereka yang berprofesi sebagai jurnalis maupun akademisi yang vokal mengkritik kebijakan pemerintah. "Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang jadi sasaran serangan digital," kata dia.
Bentuk serangan digital kepada para tokoh ini berupa penggembosan terhadap upaya partisipasi mereka dalam memberikan masukan untuk kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai.
Mereka, kata Damar, digembosi karena figurnya sebagai leader atau kelompok kritis yang menjadikannya sebagai target. Sehingga, jika mereka diganggu akan berpengaruh terhadap cara gerak atau partisipasi tokoh-tokoh dalam mengumpulkan massa.
Damar mencontohkan, dosen UGM Rimawan Pradiptyo yang vokal menolak revisi UU KPK mengalami teror. Gawai ekonom UGM itu diretas dan diganggu dengan panggilan spam. "Sehingga dia tidak bisa mengorganisir akademisi yang tergabung dalam WhatsApp grup, sehingga WA grup dia bubar," katanya.
Serangan lainnya juga dialami epidemiolog UI, Pandu Riono, baru-baru ini. Damar menilai motivasi utama peretasan akun Twitter Pandu adalah menggembosi terkait kritik penanganan Covid-19.
Menurut Damar, serangan-serangan yang dialami masyarakat sipil bisa dibilang sistematis. "Bukan kerjaan orang iseng. Tapi sudah memiliki jam terbang untuk melakukan serangan dan menjatuhkan siapapun targetnya dengan motif berbeda-beda," kata Damar.