TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan memang tak ada hukum yang melarang politik kekerabatan atau dinasti politik di Indonesia. Namun, kata dia, persoalannya pada etika dan tersedianya ruang setara bagi kader lain yang tak memiliki hubungan kekerabatan dengan elite.
"Tidak ada masalah legal, tapi masalahnya pada etika, apakah masuknya dinasti politik menghalangi potensi kader di satu partai atau pihak lain untuk masuk pada kontestasi yang fair atau tidak," kata Burhanuddin dalam acara Ngobrol @Tempo, Kamis, 30 Juli 2020.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebenarnya pernah membuat aturan yang mensyaratkan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan inkumben. Namun, aturan yang tertuang dalam Pasal 7 huruf r Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Menurut Burhanuddin, dinasti politik harus dipandang sebagai akibat dari proses kelembagaan partai politik yang masih lemah dan dari desain institusi. Ia menduga dinasti politik kian marak setelah sistem proporsional terbuka di pemilihan legislatif dan kuota 30 persen calon anggota legislatif perempuan.
Akibatnya, kata Burhanuddin, banyak elite partai mengajukan istri dan anaknya untuk dicalonkan. Para calon ini pun umumnya lebih diistimewakan.
"Namanya keluarga pasti mendapatkan privilege, umumnya mengalahkan kader yang sudah kerja keras dari bawah," kata Burhanuddin.
Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Hurriyah, sepakat dinasti politik berakibat pada akses yang tak setara dalam proses pencalonan. Ia menyebut kondisi semacam ini juga terjadi dalam pencalonan perempuan di pemilihan legislatif.
Dari Pemilu 2019, kata Hurriyah, sebanyak 41 persen caleg perempuan ternyata memiliki hubungan kekerabatan dengan elite politik lokal dan elite partai politik.
"Salah satu dampak negatif politik dinasti adalah lapangan permainan yang tidak setara, akses tidak setara. Peluang dicalonkan oleh partai jadi lebih kecil untuk orang-orang yang tidak punya keterkaitan atau kekerabatan," kata Hurriyah dalam kesempatan yang sama.
Burhanuddin Muhtadi pun mengusulkan satu mekanisme merespons tak terhindarkannya dinasti politik ini. Menurut dia, lapangan pertarungan antara mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dan yang tak punya hubungan kekerabatan haruslah setara.
Salah satu caranya ialah dengan menurunkan syarat pencalonan kepala daerah-wakil kepala daerah. Saat ini, syarat mengusung calon adalah 20 persen dari total kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. "Orang yang tidak punya darah biru ini harus diberi peluang yang sama. Caranya, syarat mencalonkan kepala daerah diturunkan, jangan terlalu tinggi," kata Burhanuddin.