INFO NASIONAL -- Sejumlah lembaga swadaya masyarakat melakukan upaya literasi kepada masyarakat di pedesaan agar memahami cara membaca anggaran penanggulangan Covid-19. Upaya ini diharapkan menjadi langkah pengawasan dan mengkritisi penggunaan anggaran pemerintah desa hingga pemerintah pusat.
”Termasuk mencari cara bagaimana BPD (Badan Permusyawaratan Desa) bisa menampung suara masyarakat yang membutuhkan anggaran,” ujar Anna Winoto, Team Leader, Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan Kesejahteraaan (KOMPAK) dalam diskusi webinar KSIxChange ke-25 bertajuk “Tantangan Transpransi Anggaran dan Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dalam Mengatasi Covid-19 di Indonesia” pada 23 Juli 2020. KOMPAK menggandeng Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dalam kegiatan literasi masyarakat desa tersebut.
Baca Juga:
Menurut Anna, pemahaman membaca anggaran menjadi penting lantaran kapasitas tiap desa di Indonesia dalam mengelola keuangan tidak merata. Salah satu perangkat untuk mempertajam analisa anggaran adalah SEPAKAT (Sistem Perencanaan, Penganggaran, Pemantauan, Evaluasi dan Analisis Kemiskinan Terpadu). “Fungsi sistem ini untuk menyusun anggaran yang lebih terukur dan mendukung penyelesaian masalah kemiskinan,” katanya.
Pemerintah daerah telah menggunakan SEPAKAT dalam perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan. Di masa pandemi, sistem ini digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa yang mengajukan revisi APBD tepat waktu, sehingga tidak menunda pencairan Dana Alokasi Umum (DAU).
Salah satu praktik nyata literasi anggaran adalah posko pengaduan di desa-desa. Posko tersebut menjadi tempat bagi warga untuk melapor jika terjadi kesalahan data penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai), dan pengaduan lain-lain. FITRA memiliki 33 desa dampingan di 11 kabupaten se-Indonesia. “Transparansi di desa relatif cukup bagus. Data penerima bantuan sosial dan penggunaan anggaran desa terpampang di papan pengumuman di sejumlah lokasi yang strategis,”ujar Sekretaris Jenderal FITRA Misbah Hasan.
Baca Juga:
FITRA yang mengkaji penyerapan APBD se-Indonesia untuk menangani pandemi Covid, memperkirakan terjadi efisiensi anggaran sekitar Rp 160,6 triliun. Namun, hampir semua daerah tidak mematuhi ketentuan bersama yang dibuat Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Dampaknya, daerah-daerah yang menunda DAU atau DBH (Dana Bagi Hasil) mendapatkan hukuman. “Ada dua kemungkinan. Pertama, daerah tidak patuh ketentuan realokasi, dan kedua karena terlambat menyetorkan. Laporan saat ini sekitar Rp 71-85 triliun bisa alokasi ulang dari APBD,” papar Misbah.
Ada pun Dana desa sebesar Rp 800 juta untuk setiap desa yang digelontorkan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (KemendesPDT), sekitar 25 persen harus dialokasikan untuk dana BLT. Pemerintah merelaksasi dana desa untuk BLT agar daya beli masyarakat kembali membaik.
“Pemerintah juga memberikan pinjaman sebesar Rp 10 triliun kepada daerah-derah yang kemampuan fiskalnya terbatas untuk mendukung kegiatan-kegiatan perekonomian masyarakat,” kata Ubaidi Socheh Hamidi, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara, Badan Kebijakan Fiskalnya.
KSIxChange adalah diskusi interaktif yang diinisiasi Knowledge Sector Initiative (KSI), kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. KSIxChange yang digelar minimal sekali dalam sebulan bertujuan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah melalui peningkatan diskursus publik yang berdasarkan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebijakan. Gelaran diskusi KSIxChange#25 mempertemukan pemangku kebijakan, mitra pembangunan dan aliansi publik yang terdiri dari Bappenas, Kementerian Keuangan, Program KOMPAK, SEKNAS FITRA dan Open Government Indonesia (OGI) untuk membahas pentingnya transparansi dan pantauan publik terhadap perencanaan, realokasi anggaran pemerintah baik ditingakt pusat, daerah dan desa termasuk sinkronisasi kebijakan fiskal dalam upaya penanganan Covid-19 di Indonesia.(*)