TEMPO.CO, Jakarta - Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini marah dan menghukum warganya untuk melakukan push up karena melanggar protokol kesehatan. Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, menilai tak seharusnya Risma memberi sanksi warganya itu.
“Kenapa harus dihukum? Bukan harus dihukum, tapi harus diedukasi. Apakah pemerintah sudah melakukan edukasi? Kan belum,” ujar Pandu melalui sambungan telepon, Jumat, 10 Juli 2020.
Media lokal Surabaya menyebutkan Risma memberi sanksi warganya yang tak mengenakan masker. Ini terjadi saat Risma terjun ke kampung-kampung di Kecamatan Tandes untuk mensosialisasikan penggunaan masker pada Selasa lalu.
Menurut Pandu, pemerintah selama ini tidak aktif dalam melakukan edukasi dan mengajak masyarakat untuk turut serta dalam penanggulangan pandemi, sehingga pemberian sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan tidak akan efektif.
“Jadi jangan mengharapkan keajaiban masyarakat harus patuh. Masyarakat tidak pernah diedukasi, tidak pernah diajak untuk mengendalikan respons. Rakyat kan selama ini ditinggalkan,” ujarnya.
Pakar Epidemiologi itu turut menyoroti penambahan 2.657 kasus baru pasien positif Covid-19 pada Kamis, 9 Juli 2020 lalu. Menurutnya, angka yang menjadi rekor kasus tertinggi sejak 2 Maret 2020 itu memperjelas bahwa langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah selama ini tidak tepat dan perlu dievaluasi.
Karena itu, Pandu mendorong pemerintah untuk meningkatkan intensitas komunikasi publik, menggunakan semua saluran media secara lebih masif, serta menyiarkan pesan-pesan yang tepat dan edukatif kepada masyarakat.
Menurutnya, cara itu akan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk turut berperan sebagai subjek dalam penanggulangan pandemi Covid-19. “Masyarakat itu garda terdepan dari penanggulangan (Covid-19) ini, tapi selama ini tidak dianggap,” ujar Pandu.
ACHMAD HAMUDI ASSEGAF