KontraS, kata Rivan, menyayangkan praktik penyiksaan tahanan oleh polisi yang masih terus terjadi. Ia meminta Polri untuk mengedepankan pro juctitia.
Mundur ke akhir Juni, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan Polri masih menjadi pelaku penyiksaan dengan jumlah kasus terbanyak, yakni 48. Hasil itu didapatkan melalui survei yang KontraS lakukan sejak Juni 2019 hingga Mei 2020.
Rinciannya, 28 kasus di kepolisian resor, 11 kasus di kepolisian sektor, dan 8 kasus di kepolisian daerah. Para personel ini kebanyakan menggunakan tangan kosong sebagai instrumen penyiksaan.
Bersama KontraS, Tempo pernah menelusuri cerita orang-orang yang diduga menjadi korban penyiksaan selama di tahanan oleh polisi. Ada kisah seorang anak di bawah umur yang dipaksa agar mengakui pembunuhan padahal ia menjadi saksi. Sang anak yang disiksa pun terpaksa mengaku. Ia sempat divonis hukuman mati.
Penyiksaan terhadap tahanan oleh polisi masih menjadi metode favorit untuk mencari barang bukti. Dari kasus-kasus yang diadvokasi oleh KontraS, kebanyakan korban memang diduga terlibat tindak kriminal. Sehingga polisi menyiksa mereka untuk mendapatkan barang bukti. Selain itu, ada juga motif penyiksaan agar pelaku mau mengakui perbuatannya.
Penyiksaan pun tak melulu dalam bentuk fisik. Teror psikologis juga sudah masuk kategori penyiksaan. Misalnya, menakut-nakuti tahanan dengan ular atau tak memberi makanan selama berhari-hari. Simak liputan lengkapnya dalam "Kisah di Balik Terali Besi".