TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK, Maneger Nasution, mengatakan korban tindakan penyiksaan masih merasa takut untuk melaporkan peristiwa yang dialaminya.
Ini berpengaruh pada proses pengungkapan tindak pidana penyiksaan di Indonesia.
Maneger menjelaskan korban merasa takut karena karena penyiksaan dilakukan oleh pejabat publik atau lokasi kejadian berada di dalam bangunan atau wilayah institusi tertentu.
"Oleh sebab itu, akan sangat sulit mencari saksi yang mau memberikan keterangan atas peristiwa penyiksaan dimaksud," kata Maneger dalam keterangan tertulis, Jumat, 26 Juni 2020.
Andai korban melaporkan peristiwa penyiksaan yang dialami, kata Maneger, ada rasa ketidakpercayaan jika laporannya bakal diproses sesuai hukum.
“Mereka ragu (laporan) akan diproses karena proses hukum atas laporan itu biasanya dilakukan secara internal oleh institusi pejabat publik itu,” ucap dia.
Data LPSK menunjukkan permohonan dari tindak pidana penyiksaan angkanya kalah dibandingkan kasus kekerasan seksual terhadap anak, perdagangan orang maupun korupsi.
Pada 2019 ada 11 permohonan sementara untuk tahun ini, hingga Juni, ada 10 permohonan untuk kasus penyiksaan.
Maneger mengatakan permohonan perlindungan atas tindak pidana penyiksaan ke LPSK jumlahnya memang kecil. Namun, hal itu tentu tidak menggambarkan peristiwa penyiksaan yang sebenarnya terjadi di Indonesia.
“Kenapa? Ada dua faktor. Ketakutan korban melapor karena harus berhadapan dengan pejabat publik, dan distrust terhadap proses hukum atas laporan mereka,” kata dia.
Menurut Maneger, ketakutan melapor atau ketidakpercayaan masyarakat akan proses hukum seharusnya tidak perlu terjadi.
Alasannya, ada LPSK yang bertugas memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan/atau korban, termasuk pada tindak pidana penyiksaan. “Apalagi, penyiksaan merupakan salah satu kasus prioritas di LPSK,” kata Maneger.
AHMAD FAIZ