TEMPO.CO, Jakarta--Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan kembaku mempertanyakan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait penegakan hukum kasus penyiraman air keras terhadap dirinya. Novel menilai ada banyak kejanggalan dalam proses penegakan hukum tersebut.
"Kami mendesak kepada Bapak Presiden, apakah masih tetap akan membiarkan, apakah terus kemudian akan turun untuk membenahi masalah-masalah seperti ini," kata Novel melalui video, Jumat, 12 Juni 2020.
Novel mengatakan kejanggalan demi kejanggalan dalam penegakan hukum ini telah dia sampaikan kepada publik. Yang teranyar ialah jaksa yang menuntut dua terdakwa, Rahmat Kadir dan Ronny Bugis, dengan hanya satu tahun penjara.
Novel meyakini, penyiraman air keras pada dirinya pada 11 April 2017 itu karena tugasnya sebagai penyidik komisi antirasuah. Ia menyebut serangan tersebut bermaksud menakuti siapa pun yang berani lugas dan tegas memberantas korupsi.
Di sisi lain, Novel mengatakan presiden bertanggung jawab memastikan jalannya penegakan hukum yang adil di negara ini. Dia mengingatkan, penegakan hukum yang tak adil justru akan membuat nama presiden terlihat tidak baik. "Oleh karena ini saya berharap hal ini tidak boleh dibiarkan," ujar Novel.
Novel berujar, penegakan hukum adalah faktor penting untuk membangun suatu bangsa. Apalagi pemerintah sedang berupaya membangun di semua bidang, seperti ekonomi, politik, sosial, dan lainnya. Akan tetapi, menurut Novel, mimpi-mimpi pembangunan di bidang lain itu akan sulit terwujud jika penegakan hukum ternyata masih bermasalah.
"Bahkan dalam proses upaya memberantas korupsi, masalah penegakan hukum itu menjadi hal yang penting sekali," kata Novel.
Presiden Jokowi, lanjur dia, sejak awal memberikan perhatian terhadap kasusnya. Namun Jokowi kemudian mempercayakan penyelesaian kasus tersebut kepada aparat penegak hukum. "Bukankah sudah sangat cukup alasan untuk menunjukkan bahwa aparatur bekerja dengan bermasalah di sana-sini," ucapnya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI