TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk mengembangkan kasus baru mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Kasus baru itu adalah dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Sejauh dari hasil penyidikan saat ini ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka TPPU," kata Pelaksana tugas juru bicara KPK Ali Fikri saat diminta konfirmasinya, Minggu 7 Juni 2020.
Penyidik KPK akan mendalami setiap informasi dan keterangan yang diperoleh dari saksi-saksi maupun barang-barang hasil penggeledahan untuk mengembangkan dugaan itu. Namun, Ali Fikri menambahkan, itu dilakukan setelah penyidik KPK bisa menguatkan pembuktian unsur pasal-pasal yang disangkakan saat ini.
Seperti diketahui, Nurhadi menjadi tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada 2011—2016. Juga terhadap dugaan keterlibatan istri Nurhadi, Tin Zuraida, maupun pihak-pihak lain terkait dengan kasus tersebut, Ali Fikri mengatakan, "Penyidik juga akan mendalami lebih lanjut setiap informasi yang telah diterima."
Hal itu termasuk kemungkinan penerapan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi atau merintangi penyidikan bagi pihak-pihak yang membantu pelarian Nurhadi. Ali mengatakan bahwa KPK akan menganalisis terlebih dahulu setiap keterangan para saksi yang nantinya dipanggil penyidik.
Sebelumnya, pendiri Lokataru Kantor Hukum dan HAM Haris Azhar mendesak KPK segera menyita aset miliaran rupiah milik Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono. Dia meminta KPK mengembangkan penyelidikan pada dugaan adanya TPPU yang kemungkinan besar telah dilakukan.
Dalam penelusuran yang dilakukan Lokataru, setidaknya telah ditemukan beberapa aset kepemilikan Nurhadi dan Rezky, yakni tujuh aset tanah dan bangunan serta empat lahan usaha kelapa sawit. Selanjutnya, ada delapan badan hukum dalam berbagai jenis baik PT hingga UD, 12 mobil mewah, dan 12 jam tangan mewah.
"Tak hanya itu, diduga masih ada aset lain yang kemungkinan besar belum terjangkau," ucap Haris melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis lalu. "Kami menemukan indikasi kuat ada penggunaan nama-nama di luar Nurhadi yang tercatat mengatasnamakan aset hasil tindak pidana dimaksud."
Nurhadi dan Rezky bersama Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar pada 16 Desember 2019. Ketiganya kemudian dimasukkan dalam status daftar pencarian orang (DPO) sejak Februari 2020.
Nurhadi dan Rezky telah ditangkap tim KPK di Jakarta, Senin lalu. Sedang Hiendra, tersangka pemberi suap, masih buron.