TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mendesak pemerintah untuk membatalkan pengerahan TNI dalam mengawal kenormalan baru atau new normal.
"Menangani Covid-19 harus dipandu oleh kebijakan kesehatan publik berbasis sains. Pelonggaran kekarantinaan kesehatan harus dilakukan berbasis data dan bukan sekedar keinginan," ujar Direktur YLBHI Asfinawati melalui keterangan tertulis pada Senin, 1 Juni 2020.
YLBHI mengingatkan saat Orde Baru, TNI diikutsertakan dalam soal sosial dan politik. Alhasil, ketika reformasi 1998, tugas TNI kemudian dipisahkan sesuai TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
Sebab, kata dia, saat itu keterlibatan TNI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran, sehingga membuat demokrasi tidak berkembang di Indonesia. "Maka, pengembalian peran TNI dalam kegiatan-kegiatan di ranah sipil bertentangan dengan reformasi dan TAP MPR tersebut," kata Asfinawati.
Asfinawati juga mempertanyakan alasan pelibatan TNI dalam penanganan Covid-19. Langkah ini justru memperlihatkan Presiden Joko Widodo yang lebih memilih pendekatan keamanan dibanding dengan pendekatan kesehatan.
Padahal, merujuk pada pernyatan resmi Direktur WHO Region Eropa, new normal memerlukan transisi, dan tindakan untuk mengurangi pembatasan. Di mana, dalam transisi itu membutuhkan bukti yang menunjukkan penularan Covid-19 dapat dikendalikan.
"Lalu, kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengkarantina," ucap Asfinawati.
Syarat lainnya agar bisa memberlakukan new normal adalah pemerintah dapat meminimalisir risiko wabah, terutama di rumah lansia, fasilitas kesehatan mental, dan orang yang bekerja di tempat-tempat ramai.
Kemudian, menetapkan langkah-langkah pencegahan di tempat kerja yaitu dengan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, etiket pernapasan, serta melibatkan suara masyarakat.
"Berkaca dari seluruh syarat transisi yang dianjurkan WHO, tidak satupun yang mengandung pendekatan keamanan," ujar Asfinawati.