TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menyayangkan putusan Mahkamah Agung yang membebaskan bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy dari tahanan. Feri menilai putusan itu ironis dengan tujuan memberikan efek jera kepada koruptor.
"Putusan MA menyedihkan dan pil pahit bagi penjeraan koruptor di ranah politik," kata Feri ketika dihubungi, Kamis, 30 April 2020.
MA seharusnya mempertimbangkan bahwa kasus Romy melibatkan penentu kebijakan politik. Ia menilai hukuman terhadapnya seharusnya diperberat.
MA malah bersikap sebaliknya dengan membebaskan Romy. "Ini semakin memberi kesan MA permisif terhadap pelaku korupsi," ujar Feri. Padahal, MA sebelumnya bertindak berbeda 180 derajat.
Mahkamah Agung membebaskan Romahurmuziy pada Rabu malam, 29 April 2020. Pembebasan ini menguatkan putusan banding yang diajukan Romy ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Putusan banding itu mengurangi masa tahanan Romy satu tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga tengah mengajukan kasasi atas putusan itu. Namun, juru bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro mengatakan permohonan kasasi KPK itu baru diterima pada Rabu kemarin, 29 April 2020.
Menurut Samsan, laporan kasasi KPK menyatakan bahwa Romy telah menjalani masa penahanan sesuai vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yakni satu tahun penjara. Alasannya, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Buku II MA, Ketua Pengadilan dapat memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Romahurmuziy dinyatakan bersalah menerima suap sebesar Rp 225 juta dari eks Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur Haris Hasanudin dan Rp 91,4 juta dari Kepala Kantor Kementerian Agama Gresik, M Muafaq Wirahadi. Hakim menilai Romahurmuziy mengintervensi proses pengangkatan Haris dan Muafaq baik secara langsung maupun tidak langsung.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | ROSSENO AJI