TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI)-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Riden Hatam Aziz mengatakan, tuntutan minimal para buruh ialah pencabutan klaster ketenagakerjaan dalam omnibus law Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja.
"Tentunya harapan minimal kami klaster tenaga kerja didrop, mungkin kami selesai. Tapi sebagai warga negara saya sangat berkeberatan dengan RUU Cipta Kerja," kata Riden kepada Tempo, Selasa, 21 April 2020.
Riden mencontohkan pasal-pasal yang tidak berkaitan langsung dengan buruh tetapi membuatnya keberatan. Misalnya ialah pasal izin penggunaan tanah yang bisa mencapai 90 tahun.
Ia menilai ketentuan itu malah mundur dari yang berlaku di zaman kolonial, yakni izin penggunaan tanah maksimal 40 tahun dan 25 tahun ketika masa orde baru. "Sekarang zaman modern, zaman demokrasi, masa dikembalikan ke 90 tahun," kata dia.
Selain itu, Riden juga menyinggung soal pembebasan lahan untuk kepentingan pembangunan. Dia menilai RUU Cipta Kerja akan memangkas hak warga negara untuk ikut berbicara atau menentukan arah pembangunan.
"Tidak hanya buruh yang menolak RUU omnibus law, tapi semua elemen masyarakat pun berkeberatan," ucap Riden.
Riden mengatakan buruh akan tetap menggelar aksi menolak omnibus law pada 30 April mendatang. Ia mengatakan, tak ada yang bisa menghentikan aksi tersebut kecuali Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja selama pandemi Covid-19.
Riden sekaligus menanggapi pernyataan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) yang melarang aksi massa di saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Menurut dia, mereka tak memerlukan izin dari kepolisian untuk menyampaikan pendapat di muka umum, melainkan hanya pemberitahuan.