TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menunda pembahasan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ditentang masyarakat sipil. RUU yang dimintakan ditunda pembahasannya adalah RUU Cipta Kerja, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan RUU Lembaga Permasyarakatan di tengah krisis kesehatan dan potensi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
“Berdasarkan pengamatan Komnas Perempuan terdapat sejumlah temuan mengapa pembahasan RUU Cipta Kerja, RUU KUHP, dan RUU Lembaga Permasyarakatan sebaiknya ditunda,” kata komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 7 April 2020. RUU itu dilanjutkan pembahasannya dari anggota DPR periode sebelumnya.
Siti menjelaskan, proses pembahasan RUU KUHP cenderung tertutup. Padahal, berdasarkan Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, masyarakat sipil berhak berpartisipasi dalam proses pembentukan undang-undang.
Pemerintah dan DPR juga dianggap belum membuka ruang dialog dan konsultasi publik terhadap sejumlah pasal kontroversial yang perlu dibahas ulang, dan mendengar masukan masyarakat selama September 2019 hingga April 2020.
Dialog dan konsultasi publik ini, kata Siti, tidak dapat dilakukan selama masa pandemi Covid-19. Sebab, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk menjembatani ruang konsultasi belum diatur dalam tata tertib DPR. “Perlu dipersiapkan secara matang agar dapat diakses secara luas dan substantif,” ujarnya.
Komnas Perempuan menilai pengabaian masukan berdasarkan prinsip-prinsip HAM adalah bentuk miscarriage of justice atau gugurnya keadilan. Pengabaian itu berpotensi menempatkan negara secara aktif melanggar HAM (by omission) melalui peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Siti juga menilai masih terdapat sejumlah pasal kontroversial yang mengancam hak asasi kelompok masyarakat rentan di Indonesia, di antaranya adalah hak perempuan, hak anak, hak masyarakat adat, hak masyarakat miskin, hak penghayat kepercayaan, dan kelompok masyarakat rentan lainnya.
Komnas Perempuan mencatat setidaknya terdapat 32 isu norma-norma dalam RKUHP yang memuat ketimpangan relasi gender atau relasi kuasa yang timpang, dan berpotensi menimbulkan diskriminasi dan kekerasan, kerugian fisik, ekonomi, psikis, seksual bagi kelompok rentan khususnya perempuan.
Pemerintah dan DPR dianggap belum memperhatikan seluruh pasal yang mendapat masukan Komnas Perempuan dan masyarakat sipil dalam rencana pembahasan RKUHP tahun 2020 ini. “Persoalan seperti ini ditemukan juga dalam RUU lainnya, termasuk RUU Cipta Kerja dan RUU Ketahanan Keluarga,” katanya.