TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Tim Airborne Disease Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito Yogyakarta, Ika Trisnawati, mulai was-was dengan persediaan alat pelindung diri di rumah sakit tersebut yang mulai menipis. Padahal pasien rujukan Corona yang dibawa ke fasilitas kesehatan tersebut semakin banyak.
RS rujukan ini telah merawat tiga pasien positif Covid-19. Mereka adalah Satu balita yang dinyatakan sembuh dan boleh pulang. Balita itu sebelumnya diisolasi bersama ayah dan ibunya. Satu pasien positif merupakan guru besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Belakangan bertambah seorang asal Kecamatan Brebah, Sleman.
"Untuk menangani satu pasien, petugas medis membutuhkan 10 hingga 15 alat pelindung diri, tergantung kondisi pasien," kata Ika saat ditemui Tempo di Gedung Administrasi Pusat rumah sakit tersebut, Jumat, 20 Maret 2020.
Ika ketat memberlakukan penggunaan alat pelindung diri. Petugas medis, di antaranya dokter dan perawat tidak boleh keluar masuk ruang isolasi sembarangan. Mereka harus patuh pada jadwal dengan sistem bergantian. "Kunjungan dokter dan perawat dibuat efektif agar tak boros APD," kata Ika.
Efektif yang dia maksudkan adakah tenaga medis tidak boleh seenaknya keluar masuk ruang isolasi. Jadwal masuk petugas medis di ruang isolasi diusahakan bersamaan. Misalnya, pada saat pemeriksaan kondisi vital pasien, petugas kesehatan yang masuk juga sekaligus memberikan makan kepada pasien. Petugas medis yang masuk juga dibatasi.
Petugas gizi misalnya tidak boleh masuk ke ruangan. Dia hanya memberikan ransum kepada tim medis yang akan masuk ke ruang pasien. Yang membawa ransum masuk adalah perawat yang langsung menangani pasien. Setelah bertugas di ruang isolasi, semua tenaga medis harus membuang semua alat pelindung diri di ruang dekontaminasi. Setelah itu semua petugas harus membersihkan diri atau mandi.
Kepala Instalasi Gawat Darurat Handoyo Pramusinto mengatakan persediaan yang dimiliki rumah sakit hanya cukup hingga dua bulan ke depan.
Untuk menyiasatinya, Handoyo mengatakan para tenaga medis berupaya mengatur jadwal kunjungan. Menurut dia, dokter dan perawat yang mengenakan satu set alat pelindung diri mulai mengunjungi pasien dengan risiko rendah dahulu, baru berpindah ke risiko tinggi.
Belakangan, pakaian hazmat yang dipakai pun merupakan sumbangan yang harganya Rp 850 ribu—lebih mahal Rp 600 ribu ketimbang baju standar yang dimiliki pihak rumah sakit. “Berhemat bukan berarti menurunkan standar,” kata Handoyo.
Menurut dia, stok alat pelindung diri di rumah sakit menipis karena produksinya terbatas. Sementara, pemakaian APD meningkat. Untuk memastikan ketersediaan APD terpenuhi, RS Sardjito, kata dia berkoordinasi dengan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Dinas Kesehatan Provinsi DIY. RS Sardjito juga membuka sumbangan APD dari pata donatur. "Perlu komitmen dari semua pihak untuk memastikan ketersesiaan APD aman," kata dia.