TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, mengatakan bahwa persoalan pidana para kombatan ISIS, termasuk WNI eks ISIS di kamp tawanan, harus diselesaikan lebih dulu ketimbang ribut soal pemulangan.
"Sementara soal pertanggungjawaban para fighters itu belum jelas berujung ke mana, kita di sini berdebat soal pemulangan mereka. Seakan-akan para fighters itu adalah pengungsi internasional yang sedang menunggu pemulangannya," kata Ifdhal dalam siaran tertulisnya, Senin, 10 Februari 2020.
Ifdhal mengatakan bahwa kombatan (orang yang terlibat langsung dalam pertempuran) ISIS akan diminta pertanggungjawabannya, baik terhadap hukum humaniter (IHL), hukum pidana internasional (ICL), dan hukum HAM internasional (IHRL).
ISIS, kata Ifdhal, merupakan gerakan transnasional yang berjuang menegakkan khilafah dan memiliki sifat hybrida dari negara. Dengan karakteristik itu, hukum internasional menempatkan ISIS dengan status non-state actors.
"Ia menguasai dan mengontrol sebagian wilayah suatu negara, menerapkan hukumnya, memiliki militer dan merekrutnya sendiri, dan mendapatkan pendanaanya sendiri," kata Ifdhal.
Dengan kekuatan yang dimilikinya, ISIS menjelma menjadi kekuatan bersenjata yang mengancam keamanan dan perdamaian dunia dengan menebar teror. Ifdhal menuturkan, ini lah yang kemudian dikenal sebagai terror non-state.
Resolusi PBB 2249, pada November 2015, mengimbau negara-negara anggota agar "take all necessary measures ... to eradicate the safe haven they (ISIS) have established over significant parts of Iraq and Syria".
"PBB menyadari dari penguasaannya atas teritori-teritori itu lah dibangunnya 'terrorist safe haven', dan dari sini lah mereka (ISIS) merancang serangan teror terhadap Iraq, Syria dan negara-negara lain yang menentang ISIS," kata Ifdhal.
Menurut Ifdhal, dari konteks itu lah ISIS terlibat berbagai serangan teror dan perang. Sebagai non-state actors dalam hukum internasional, maka rezim hukum internasional berlaku bagi ISIS. Mulai dari international humanitarian law (IHL), internasional criminal law (ICL), international human rights law (IHRL), hingga pada customary international law (CIL).
Rezim hukum internasional ini, kata Ifdhal, melarang penggunaan kekerasan terhadap masyarakat sipil atau sengaja membuat teror. Pelanggaran terhadap rezim hukum ini dihadapkan pada mekanisme yang berlaku pada masing-masing rezim hukum internasional yang diterapkan. Misalnya, pelanggaran terhadap ICL atau IHRL diserahkan pada mekanisme yang diatur di bidang ini.
Adapun hingga saat ini, kata Ifdhal, memang masih belum jelas mekanisme yang diterapkan untuk pertanggungjawaban pelaku-pelaku teror yang bertanggung jawab terhadap genosida, kejahatan terhadap umat manusia, dan kejahatan perang.
Suriah ingin mengadili sendiri dengan hukum nasionalnya sendiri. Sementara masyarakat internasional mengajukan proposal untuk pendirian International Counter-Terrorism Court (ICTC) atau pengadilan internasional terorisme. "Perdebatan masih berlangsung," ujarnya.