TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia menyatakan tak akan pernah mengakui Nine-Dash Line atau sembilan garis titik sepihak yang diberlakukan oleh Cina di Perairan Natuna, Kepulauan Riau. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membicarakannya bersama sejumlah pejabat pemerintah lainnya menggelar rapat koordinasi untuk membicarakan masalah itu.
"Teman-teman yang saya hormati, bagaimana tadi disampaikan oleh Bapak Menkopolhukam bahwa kami baru saja melakukan rapat koordinasi untuk menyatukan dan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam menyikapi situasi di Perairan Natuna," kata Retno di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta Selatan, pada Jumat, 3 Januari 2020.
Retno membeberkan, ada lima kesimpulan rapat. Satu, telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal Cina di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Sedangkan wilayah ZEE Indonesia sendiri telah diakui melalui penetapan oleh hukum internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, dengan Cina sebagai salah satu anggota UNCLOS 1982. "Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi Tiongkok untuk menghormati implementasi UNCLOS 1982."
Indonesia, kata Retno, tidak pernah akan mengakui nine dash nine sepihak yang dilakukan oleh Cina sebab negara itu tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS1982.
Selain itu, Indonesia juga telah memutuskan untuk mengintensifkan patroli di Perairan Natuna. "Dan juga kegiatan perikanan yang memang merupakan hak bagi Indonesia untuk mengembangkan di Perairan Natuna," kata Retno.
Rapat soal perairan Natuna itu dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, dihadiri Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto, Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Achmad Taufieqoerrochman. Hadir pula Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Siwi Sukma Adji, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.