TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos menilai pemerintah daerah Kabupaten Dharmasraya abai dalam memberikan kebebasan beragama bagi warganya. Bonar mengatakan meski pemda setempat telah membantah adanya larangan perayaan Natal bagi warganya, namun pemda tetap tak memberi solusi konkrit bagi kaum minoritas di sana.
"Kepala Daerah seharusnya memfasilitasi, misalnya menyediakan ruang, tempat, bagi warganya beribadah," kata Tigor dalam diskusi di Kantor SETARA Institute, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu, 21 Desember 2019.
Dari temuan SETARA dan PUSAKA Foundation Padang, pelarangan perayaan Natal terjadi di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya. Di sana, terdapat jumlah umat Katolik sebanyak 19 keluarga, yang tersebar di Kecamatan Pulau Punjung.
SETARA dan PUSAKA menemukan pelarangan sebenarnya tak hanya terjadi saat Natal, tapi juga saat pelaksanaan ibadah rutin mingguan.
Tigor menemukan pemerintah melarang perayaan Natal maupun kebaktian secara terbuka di rumah warga, atau di tempat umum. Dalam kasus terakhir, warga dilarang merayakan Natal di Kanagarian Sikabau. Mereka hanya dibolehkan merayakan Natal di rumah masing-masing, tanpa mengundang umat kristiani lain.
Namun pemberitaan mengenai hal ini, membuat pemerintah membuat bantahan. Mereka berdalih telah bersepakat dengan kaum kristiani di sana, karena khawatir terulangnya konflik horisontal antara pemeluk Kristiani di Jorong Kampung Baru dengan ninik mamak Nagari Sikabau, yang pernah terjadi pada 1999.
Ibadah atau perayaan berjamaah, hanya diperbolehkan di rumah ibadah resmi. Permasalahannya, kata Tigor, tak ada rumah ibadah resmi yang dekat, bagi umat kristiani di sana.
Pemda kemudian memberi solusi dengan menyediakan mobil, untuk berangkat ke gereja di tempat terdekat. Namun lokasi terdekat berada di Sawahlunto, yang jaraknya 120 kilometer. Tigor pun mengkritisi langkah ini sebagai cara pemda sebatas cari aman.
"Dalam prakteknya, kita bisa lihat bahwa itu pun hanya sekali dua kali, nanti yang ketiga, tidak ada lagi fasilitas itu," kata dia.
Tigor mengatakan pemerintah daerah tak serius dalam mengani kasus ini. Mereka juga dinilai Tigor abai terhadap hak masyarakat untuk bebas beragama. Ia menyebut persoalan kebebasan beragama di Indonesia umumnya memang terjadi karena tak adanya peran pemerintah daerah.
"Kalau pemda abai, bahkan ia melakukan pembiaran, itu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama," kata Tigor.