TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) merilis catatan akhir 2019 untuk pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Tahun ini dinilai sebagai puncak pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
"Upayanya (pelemahan) sudah panjang. Namun di 2019 terlihat konsolidasi elite yang menginginkan KPK lemah atau sekarat," kata Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi di kantornya, Jakarta, pada hari ini, Kamis, 19 Desember 2019.
Fajri menuturkan upaya pelemahan KPK sudah dimulai sejak bertahun-tahun lalu. Namun puncaknya terlihat dalam rentetan peristiwa menjelang akhir 2019.
Menyongsong 2020, Fajri mengatakan, publik perlu terus mendukung upaya pemberantasan korupsi. Namun dengan terpilihnya komisioner yang diragukan komitmennya, publik perlu mengubah arah dan strategi.
"Dukungan publik perlu lebih difokuskan pada upaya pemberantasan korupsi, bukan sekadar dukungan kepada lembaga," ujar dia.
Dia menerangkan bahwa pelemahan KPK tahun ini dimulai dengan komposisi Panitia Seleksi Komisioner KPK yang kontroversial karena diindikasikan dekat dengan institusi Kepolisian hingga terpilihnya sejumlah nama yang diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.
Menurut Fajri, dua peristiwa itu menimbulkan keraguan publik terhadap keberpihakan Jokowi dalam pemberantasan korupsi.
Musibah pun berlanjut dengan disahkannya revisi UU KPK dalam tempo yang sangat singkat tanpa melibatkan publik. Substansi revisi yang dinilai melemahkan KPK juga disetujui secara bulat oleh DPR dan Presiden Jokowi.
Rapor merah Jokowi dalam pemberantasan korupsi, Fajri melanjtukan, juga disumbang oleh tak kunjung tuntasnya pengungkapan kasus penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan dan penyidik antirasuah lainnya.
Novel diserang dengan air keras oleh dua orang tak dikenal pada April 2017. Hingga kini, kasusnya belum juga terungkap.
Fajri juga menyinggung pernyataan pejabat pemerintah yang menyudutkan KPK. Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, misalnya.
Dia menuturkan Moeldoko pernah menyebut bahwa KPK bisa menghambat investasi. Maka Fajri menilai upaya pelemahan KPK mencapai kemenangannya tahun ini karena seolah mendapatkan restu dari Istana.
"Usaha publik membela KPK dan pemberantasan korupsi hingga mengorbankan sejumlah nyawa demonstran pun hanya ditanggapi dengan retorika oleh penguasa."