TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum atau Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Arsul Sani ingin evaluasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dibatasi hanya pada Buku Penjelasan. Arsul mengaku tak setuju jika evaluasi itu menyangkut substansi pasal atau politik hukum.
"Sementara Komisi tiga masih tetap, kami buka ruangnya di penjelasan," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 5 November 2019.
Arsul menegaskan Komisi Hukum DPR tak ingin lagi memperdebatkan apakah sebuah pasal harus ada atau tidak. Dia juga tak setuju jika harus menghapus ayat tertentu dari pasal-pasal yang ada di RKUHP.
Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly. sebelumnya menyatakan membuka peluang mengevaluasi pasal-pasal kontroversi dari RKUHP. Dia bahkan menyatakan akan membuang ketentuan yang menyebut kepala desa bisa menjadi pelapor dalam pasal kohabitasi atau kumpul kebo.
"Pasal kohabitasi, perlu dari kepala desa, walaupun kepala desa itu mesti izin orang tua, ya sudah buangkan saja. Orang tua aja supaya jangan jadi alat bancakan nanti," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 4 November 2019.
Ketentuan soal kepala desa menjadi pengadu ini tertuang dalam Pasal 418 RKUHP ayat (3), yang berbunyi: "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya." Jika merujuk pernyataan Yasonna, ayat ini berpeluang dihapus.
Arsul melanjutkan, begitu pula halnya dengan pasal kontroversial lain yang ada di RKUHP seperti pasal aborsi, penggelandangan, dan kontrasepsi. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan ini menganggap, perbaikan pada Buku Penjelasan akan menjadi pegangan bagi penegak hukum agar tidak ada pasal karet.
"Bagi PPP yang dibahas umumnya adalah formulasi terutama penjelasan, supaya tidak jadi pasal karet," ucapnya.
Anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ichsan Soelistio mengatakan, pasal kohabitasi itu tak akan diubah lantaran sudah melewati pembahasan panjang. Dia mengklaim aturan itu juga dibuat demi menghindari persekusi atau tindakan main hakim sendiri dari masyarakat.
"Kami pasang itu supaya jangan terjadi persekusi," kata Ichsan di lokasi yang sama.