TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi berencana menunjuk Dewan Pengawas KPK. Juru Bicara Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Fadjroel Rachman, mengatakan presiden masih belum memutuskan siapa saja yang bakal mengisi posisi itu.
Menurut dia, masih ada waktu bagi presiden untuk menjaring tokoh-tokoh yang sesuai. "Waktunya masih cukup panjang, (sampai) bulan Desember. Namun proses ke arah sana sedang disiapkan." Fadjroel menyampaikannya melalui pesan teks kepada Tempo, Senin, 4 November 2019.
Permasalahannya, sejumlah kalangan termasuk KPK melihat keberadaan dewan tersebut bakal melemahkan lembaga antikorupsi ini.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan tak mempermasalahkan penunjukan langsung anggota Dewan Pengawas oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Sebab, kata dia, hal tersebut sudah sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
"Persoalan bukan pada kriteria, tapi ada beberapa problem di UU tersebut yang berisiko pelemahan," kata dia, Jumat, 1 November 2019.
Febri mengatakan KPK telah menganalisa UU hasil revisi. Hasilnya ditemukan ada 26 poin perubahan yang berpotensi melemahkan KPK. Salah satu hal yang dianggap melemahkan KPK yakni keberadaan Dewan Pengawas itu sendiri.
Tim transisi yang dibentuk KPK menilai Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK. Namun syarat menjadi Dewan Pengawas malah lebih enteng ketimbang menjadi pimpinan.
Pimpinan KPK diharuskan, berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan. Syarat itu tak ada untuk dewan pengawas.
Selain itu, kewenangan dewan juga masuk pada teknis penanganan perkara. Mereka berwenang memberikan izin tertulis untuk penyadapan, penggeledahan, hingga penyitaan meskipun tidak berstatus sebagai penegak hukum. Pertentangan ini rawan dipersoalkan di praperadilan.
Integritas Dewan Pengawas juga hal lain yang disorot tim transisi. Tidak seperti pimpinan KPK, anggota dewan pengawas tidak dilarang untuk bertemu dengan pihak-pihak yang tengah berperkara di KPK.
Dewan Pengawas juga tidak dilarang untuk rangkap jabatan, bahkan untuk menjadi komisaris, direksi atau pengurus yayasan tertentu. Hal ini menurut tim berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko menilai kode etik Dewan Pengawas dibuat lemah karena dewan ini dibentuk untuk membuka pintu intervensi politik ke KPK. Ia khawatir KPK tak lagi independen karena keberadaan dewan ini. “Ini penjinakan KPK,” ujarnya.
Direktur Pusat Kajian Konstitusi Feri Amsari mengatakan pemilihan Anggota Dewan Pengawas yang memiliki integritas sebenarnya bisa meminimalisir dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh keberadaan Dewan Pengawas. Namun, ia pesimistis Jokowi bakal melakukan itu.
Sebab, menurut dia, Jokowi adalah salah satu yang memotori pelemahan KPK lewat revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2001 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 9UU KPK). Ia menduga Jokowi akan menempatkan orang-orang yang dapat mengakomodasi agendanya untuk menjadi dewan pengawas. “Saya tidak akan terlalu percaya pada pernyataan dari istana,” kata dia.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menganggap siapapun yang akan dipilih menjadi Dewan Pengawas akibatnya akan sama buruk bagi KPK. Sebab, menurut UU KPK yang baru, posisi Dewan Pengawas lebih berkuasa dari komisioner, sementara aturan kode etiknya lebih lemah dan mekanisme pemilihannya dilakukan dengan lebih sederhana.
“Kita jangan terjebak dengan politik orang baik yang melihat posisi di tata negara sebagai orang, ini adalah sistem. Jadi siapapun yang dipilih sebagai dewan pengawas, dia sudah di bawah cengkeraman presiden,” kata Asfinawati.