TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai pemerintah belum mampu mewujudkan akses keadilan untuk masyarakat. Sejak diterbitkan pada 2 November 2009, menurut YLBHI, Undang-Undang Bantuan Hukum belum menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan akses keadilan.
"Sewindu lahirnya UU Bantuan Hukum, pemerintah masih belum mampu mewujudkan akses keadilan," kata Ketua YLBHI Asfinawati dalam keterangan pers tentang lahirnya UU ini, Sabtu, 2 November 2019.
Asfinawati mengatakan permasalahan akses keadilan terjadi karena tiga hal. Pertama, masih adanya peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber ketidakadilan. Sejumlah aturan itu, yakni beleid yang melegitimasi kriminalisasi hak beragama dan berekspresi, melegitimasi perampasan tanah rakyat, serta melegitimasi pencemaran dan perusakan lingkungan.
Kedua, Asfinawati juga menilai, masih adanya penyalahgunaan penegakan hukum, seperti penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan, penggunaan kekerasan secara berlebihan. Selain itu, YLBHI juga mencatat masih terjadi kriminalisasi, pemerasan dan pungutan liar, korupsi peradilan dan diskriminasi layanan hukum.
Ketiga, menurut Asfinawati, YLBHI mendata masih ada upaya menghalangi pemberian bantuan hukum. Hal itu dilakukan oleh aparat, seperti mengintimidasi tersangka agar tidak menggunakan penasihat hukum, menutup akses pengacara kepada orang yang ditangkap, mengiming-imingi pemberian pasal atau putusan yang lebih ringan jika tidak menggunakan penasehat hukum.
Karena itu, di hari kelahiran UU Bantuan Hukum ini, YLBHI mengingatkan Pemerintah untuk melaksanakan mandatnya sesuai UU tersebut. Beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah yakni, mencabut atau merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang melegitimasi ketidakadilan; melakukan perubahan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan fokus meminimalisasi penyalahgunaan penegakan hukum; dan melakukan reformasi birokrasi penegakan hukum secara total dan sungguh-sungguh.