TEMPO.CO, Jakarta-Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis hasil pengawasan dan pengaduan kekerasan di lembaga pendidikan. Sejak bulan Januari hingga Oktober 2019, tercatat 127 kasus kekerasan yang terdiri dari kekerasan fisik, psikis dan seksual.
"Kekerasan di lembaga pendidikan melibatkan guru atau kepala sekolah, siswa, dan orang tua siswa," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti di kantor KPAI, Jakarta pada Selasa, 30 Oktober 2019.
Berdasarkan data KPAI, kekerasan seksual berjumlah 17 kasus dengan korban 89 anak, yang terdiri darj 55 anak perempuan dan 34 anak laki-laki. Pelaku mayoritas adalah guru 88 persen dan kepala sekolah 22 persen.
Adapun pelaku guru terdiri dari guru olahraga 6 orang, guru agama 2 orang, guru kesenian 1 orang, guru komputer 1 orang, guru IPS 1 orang, dan guru kelas 4 Sekolah Dasar empat orang. "Dari 17 kasus kekerasan seksual, 11 kasus terjadi di jenjang SD, 4 kasus di SMP, dan 2 di SMA," kata Retno.
Sedangkan dalam kasus kekerasan fisik, KPAI melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap 21 kasus yang itu terdiri dari 7 kasus di jenjang SD, 5 kasus di SMP, 3 kasus SMA dan 4 kasus SMK. "Dari 21 kasus, siswa korban kekerasan mencapai 65 anak. Sedangkan guru korban kekerasan ada 4 orang," katanya.
Retno menjabarkan, pelaku kekerasan itu dilakukan guru dan kepala sekolah berjumlah 8 orang, pelaku orang tua siswa 3 orang, dan pelaku siswa 37 orang. Modus kekerasan fisik yang dilakukan guru rata-rata mengatasnamakan pendisiplinan siswa berupa cubitan, pukulan dan tamparan, bentakan, makian, dijemur di bawah sinar matahari, hingga hukuman lari keliling lapangan sebanyak 20 putaran.
Penyebaran wilayah kejadian dari 21 kasus kekerasan fisik meliputi sejumlah provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Banten, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, NTB, NTT, Sulawesi Barat, Sawesi Selatan, dan Sulawesi Utara.
Tingginya jumlah kasus itu, membuat KPAI menilai kekerasan di lembaga pendidikan mesti menjadi pekerjaan rumah prioritas bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) baru, Nadiem Makarim.
Retno menambahkan, meski Permendikbud no. 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan sudah ada, namun pencegahan dan penanganannya tak sesuai dalam 4 tahun terakhir.
"Sekolah sejatinya menjadi tempat yang aman dan nyaman buat peserta didik. Kami harap ini dibenahi dan jadi pekerjaan rumah prioritas yang harus dikerjakan Mendikbud baru,"