TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari menyebut melebarnya agenda amandemen Undang-undang Dasar 1945 bisa diprediksi sejak awal. Feri mengatakan sedari awal motif amandemen UUD 1945 memang patut dicurigai tak terbatas pada soal mengembalikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"Karena begitu GBHN, ini membuka ruang akan banyak hal yang akan ditata dalam konstitusi kita. Jadi pasti akan berimbas ke mana-mana," kata Feri kepada Tempo, Selasa, 8 Oktober 2019.
MPR periode 2014-2019 memang telah merekomendasikan amandemen terbatas UUD 1945 kepada MPR periode sekarang. Agenda yang selama ini diklaim adalah mengembalikan GBHN demi kesinambungan pembangunan di pusat di daerah.
Namun kemarin, Fraksi Nasdem MPR menyatakan bahwa amandemen UUD 1945 seharusnya dilakukan komprehensif. Ketua Fraksi Nasdem MPR Johnny G. Plate mengatakan, salah satu hal yang harus dibahas ialah soal masa jabatan presiden. Dia mengatakan haluan negara juga berkaitan dengan masa jabatan eksekutif, mulai dari presiden, gubernur, bupati, hingga wali kota.
Menurut Feri, gagasan amandemen UUD 1945 ini memang mengkhawatirkan sejak awal. Ide itu berpotensi membuka kotak pandora seperti yang mulai bergulir saat ini. Dari yang awalnya diklaim terbatas pada GBHN, kemudian pertanggungjawaban hingga masa jabatan eksekutif. "Dari gagasan GBHN, lalu proses pertanggungjawabannya, proses pemilihan presiden tidak langsung, itu kan jadi sangat besar dan luas," kata Feri.
Feri mengatakan amandemen UUD 1945 ini sangat berbahaya terutama di era kemunduran demokrasi seperti sekarang. Dengan dominasi kelompok oligarki di parlemen, kata dia, sulit untuk mengontrol proses yang akan bergulir. "Semua jadi political bargaining, bukan tidak mungkin akan merugikan rakyat banyak dengan gagasan mereka ini."