TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menyatakan ada opsi alternatif yang bisa diambil Presiden Joko Widodo selain menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau Perpu KPK. Alternatif itu yakni menerbitkan Perpu penangguhan atau penundaan.
Bayu mengatakan perpu penangguhan berfungsi untuk menunda pemberlakuan UU KPK hasil revisi yang mendapat penolakan publik. Ia mengatakan setidaknya pemerintah dapat menunda UU KPK itu diundangkan selama setahun. Dalam proses penundaan itu, kata dia, Jokowi dapat mengajak DPR untuk membahas ulang UU KPK hasil revisi.
“Selama setahun presiden bisa mengajak DPR untuk membahas lagi UU KPK melalui proses legislasi biasa, jangan seperti kemarin yang terburu-buru dan tidak partisipatif,” kata dia dalam diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu, 5 Oktober 2019.
Bayu mengatakan perpu penangguhan dapat menjadi jalan tengah bagi pro-kontra wacana penerbitan Perpu KPK. Wacana penerbitan Perpu KPK adalah salah satu aspirasi yang disuarakan dalam demo mahasiswa di depan Gedung DPR pada September kemarin. Namun, wacana ini ditolak oleh sebagian besar partai pendukung pemerintah.
Menurut Bayu, perpu penangguhan bisa menjadi solusi terhadap polemik itu. Di satu sisi, KPK dapat bekerja berdasarkan UU KPK sebelum direvisi. Sementara di sisi lain, keinginan publik terpenuhi, dan Jokowi tidak kehilangan wibawa karena menganulir hasil revisi UU KPK yang telah ia setujui.
Ia mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY juga pernah mengeluarkan dua perpu penangguhan selama menjabat. Perpu penangguhan pertama soal UU penyelesaian hubungan industrial dan UU tentang pengadilan perikanan.
Kedua UU itu, kata dia, ditunda dengan alasan pemerintah belum siap melaksanakan kedua aturan tersebut. “Tanpa desakan publik saja, Presiden SBY saat itu mengeluarkan perpu karena dianggap belum siap,” kata dia.