Awal Penggunaan Buzzer
Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, mengatakan bahwa penggunaan buzzer untuk kepentingan politik mulai digunakan pada 2009.
"Brand masuk melihat peluang marketing melalui jasa buzzer influencer pada 2006. Kemudian itu masuk ke politik untuk membangun citra kandidat," kata Rinaldi saat ditemui Tempo di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2019.
Pada perkembangannya, buzzer digunakan untuk melawan kampanye hitam dan meningkatkan citra positif kandidat agar berpengaruh terhadap potensi keterpilihan.
"Dalam konteks ini buzzer bermanfaat untuk politik pragmatis dimana ada opini-opini yang perlu dimenangkan, supaya citra kandidat itu tidak tenggelam dengan fitnah-fitnah," katanya.
Penelitian CIPG pada 2017 menunjukkan istilah buzzer untuk politik mulai populer pada Pilkada DKI 2012. Kemudian secara luas untuk kepentingan politik terjadi pada Pilpres 2014 dan akhirnya di setiap pemilu.
Rinaldi menjelaskan, buzzer memiliki kemampuan dalam mengamplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan. Buzzer biasanya memiliki jaringan luas, misalnya punya akses ke informasi kunci, mampu menciptakan konten sesuai konteks, cakap menggunakan media sosial, persuasif, dan digerakkan motif tertentu (bayaran dan sukarela).
Namun, istilah buzzer ini juga kerap overlap dengan influencer. Orang menilai influencer juga buzzer karena sama-sama memiliki kemampuan mengamplifikasi pesan. Yang membedakan dengan buzzer, influencer dianggap memiliki keahlian dalam bidang tertentu sehingga suaranya laik didengar publik.
Keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik, masih dari penelitian CIPG, telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Sebetulnya, kata Rinaldi, peran buzzer tidak diperlukan lagi pascapemilu atau ketika kandidat sudah menang. Sebab, keberadaannya malah menjadi distorsi. Sehingga, akan sulit membedakan mana aspirasi publik yang otentik. "Penggunaan buzzer untuk aktivitas mendukung pemerintah secara citra itu tidak akan membantu, karena akan menciptakan gap antara citra dan realitas," kata dia.