Penelitian Oxford Soal Buzzer
Sebuah studi Universitas Oxford mengungkap Indonesia termasuk dalam negara yang menggunakan media sosial untuk propaganda politik, disinformasi, dan upaya menurunkan tingkat kepercayaan pada media dan lembaga demokrasi. Riset ini adalah proyek Computational Propaganda Research Project, yang dilakukan Oxford Internet Institute dan dirilis pada 26 September 2019.
Dari kajian Oxford, 87 persen negara menggunakan akun manusia, 80 persen akun bot, 11 persen akun cyborg, dan 7 persen menggunakan akun yang diretas. Secara umum, pasukan siber Indonesia menggunakan akun bot dan yang dikelola manusia, dengan tujuan menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai politik, menyerang kampanye, mengalihkan isu penting, memecah belah dan polarisasi, dan menekan pihak yang berseberangan.
Jenis pasukan siber, menurut Oxford Internet Institute, dibagi dengan besarnya ukuran tim dan waktu kontrak, serta kemampuan strategi dan anggaran. Ada lima jenis kapasitas pasukan siber: tim berkapasitas minimal, rendah, medium, dan tinggi.
Indonesia umumnya menggunakan tim kapasitas rendah (Low Cyber Troop Capacity), yang berarti melibatkan sejumlah tim-tim kecil yang aktif selama pemilu atau agenda tertentu.
Hal ini juga diamini dari hasil analisis Drone Emprit yang menunjukkan adanya penggunaan pasukan siber yang bekerja secara sistematis dalam memanipulasi opini publik tentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK).
"Ketika membangun isu di KPK itu pelan-pelan, ada tagar-tagar yang diangkat. Tagar-tagar ini menggunakan semuanya, cyber troop dan computational propaganda," kata penemu Drone Emprit, Ismail Fahmi.
Ia mengatakan ketika membangun isu KPK, pasukan siber yang terdiri dari tim buzzer, influencer, dan strategist secara perlahan mengangkat tagar-tagar bernarasi positif yang terekam Drone Emprit pada 10-17 September 2019. Contoh tagar yang digunakan, yaitu #RevisiUUKPKForNKRI, #KPKKuatKorupsiTurun, #DukungRevisiUUKPK, #KPKLebihBaik, #KPKPatuhAturan.
Di samping itu, kata Ismail, ada isu yang sudah lama namun kembali diangkat, yaitu KPK dan Taliban. Narasi yang dibangun ialah seolah-olah di dalam KPK ada Taliban, dan bertujuan untuk memecah opini publik pada saat pengesahan revisi UU KPK.
Sebab, kemunculan narasi itu membuat persepsi publik terhadap KPK menjadi negatif. Padahal, Taliban yang dimaksud tidak memiliki asosiasi terhadap kelompok Taliban di Afghanistan."Opini publik pecah antara yang mendukung, yang mendukung mulai ragu-ragu, tidak percaya," katanya.
Agar tagar-tagar tersebut trending, Ismail mengatakan bahwa pasukan siber ini menggunakan skema giveaway atau memberi hadiah bagi netizen. Akun @MenuWarteg salah satunya yang mengadakan undian berhadiah dengan menggunakan tagar #KPKPatuhAturan. Selain mengadakan undian berhadiah, pasukan siber ini juga membuat meme yang banyak. "Ini sistematisnya bagus, kampanyenya bagus, step by step membangun opini publik, dan it works," ujar Ismail.
Dari kelompok yang menolak revisi UU KPK, Drone Emprit mencatat bahwa akun Anita Wahid membuat klarifikasi soal isu miring terhadap KPK. Namun, akun putri Gus Dur itu juga diserang komentar negatif dari pihak pro revisi UU KPK maupun oposisi pemerintah.
Ismail menuturkan, serangan KPK dengan isu Taliban sangat kuat. Hal ini pun berdampak pada akun-akun yang membela KPK ikut tenggelam di media sosial, karena mereka bergerak secara sporadis dan tidak terorganisir seperti pasukan siber.
Setop Buzzer-buzzer-an
Ribut-ribut soal buzzer, ikut mengundang komentar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Sebabnya, kantor Moeldoko kerap diisukan mengomandani buzzer dari pihak Istana.
"Tidak, tidak. Justru kami KSP itu mengimbau, sudah kita jangan lagi seperti itu," ucap Moeldoko.
Moeldoko menuturkan sudah beberapa kali meminta para buzzer agar tidak mengedepankan rasa kebencian. Selain itu, mantan Panglima TNI ini sependapat jika para pendengung di media sosial perlu ditertibkan.
"Buzzer ini kan muncul karena perjuangan menjaga marwah pemimpinnya. Dalam situasi ini, relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran," kata Moeldoko di Gedung Krida Bhakti, Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2019.
Moeldoko mengatakan, yang diperlukan saat ini adalah dukungan politik yang membangun, bukan yang bersifat destruktif. Para pendengung, kata Moeldoko, selalu melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar dan tidak enak di hati. "Itu lah destruktif, dan itu sudah tidak perlu lah," ujarnya.