TEMPO.CO, Jakarta - Unjuk rasa ribuan mahasiswa dan pelajar dalam Gejayan Memanggil jilid 2 pada Senin, 30 September 2019 di Yogyakarta berakhir tertib. Tetapi, berdasarkan pantauan Tempo, jumlah peserta unjuk rasa kali ini lebih sedikit ketimbang aksi sebelumnya pada 23 September 2019.
Pantauan Tempo dalam aksi Gejayan jilid 1, massa memanjang ke jalan Gejayan sisi utara dan selatan. Namun aksi jilid dua, konsentrasi massa terlihat hanya di simpang Colombo ke barat. Sedangkan ruas selatan dan utara cenderung lengang.
Salah satu koordinator lapangan (korlap) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogya, Farhan Mustofa membenarkan penurunan jumlah massa pada aksi hari ini. “Iya menurun karena sempat ada isu-isu kalau bakal ada ricuh yang besar dalam aksi hari ini,” ujar Mustofa.
Isu ricuh itu dihembuskan dengan mengaitkan peristiwa jatuhnya korban demonstrasi khususnya kalangan mahasiswa di beberapa daerah.
Mustofa menuturkan sedianya aksi Gejayan Memanggil jilid 2 ini diproyeksikan bisa melibatkan sekitar 5000 peserta. Namun, akibat isu bakal adanya kerusuhan itu, jumlah peserta yang ikut merosot.
Dari kampus UIN Sunan Kalijaga Yogya yang pada aksi jilid satu lalu bisa menurunkan hingga 1.000 mahasiswa pun pada aksi kali ini yang terlibat hanya separonya. Mustofa memastikan, aksi ini akan terus berlanjut jika pemerintah dan DPR tak juga memenuhi tuntutan yang diserukan sejak awal.
Beberapa tuntutan unjuk rasa adalah menolak pelemahan KPK yang dituangkan dalam revisi UU KPK, mendesak Presiden Jok Widodo atau Jokowi segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti atau Perpu KPK.
Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, merevisi pasal pasal bermasalah dalam RUU KUHP dan melibatan elemen masyarakat sipil, dan menolak RUU pertanahan, ketenagakerjaan, keamanan dan ketahanan siber serta RUU Minerba.
Pengunjuk rasa di Gejayan Memanggil juga mendesak aparat menghentikan segala bentuk represif dan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat. Mereka juga mendesak seluruh komponen militer serta mengusut tuntas pelanggaran HAM dan membuka ruang demokrasi seluasnya bagi Papua.