TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan opsi paling memungkinkan diambil Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mengatasi penolakan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi adalah dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
"Paling memungkinkan buat Pak Jokowi itu memang hanya perpu," kata Bivitri saat dihubungi Tempo, Sabtu, 28 September 2019.
Bivitri menjelaskan, dari tiga opsi (judicial review, legislative review, dan perpu), Jokowi hanya memiliki wewenang penuh terhadap perpu. Sesuai Pasal 22 UUD 1945, kata Bivitri, Presiden berhak menetapkan perpu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Adapun judicial review, Bivitri mengatakan tergantung kekuatan permohonan masyarakat sipil, bukan pemerintah. Pemerintah tidak boleh menjadi pemohon uji materi. Sebab, pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang pasti akan diundang untuk memberikan keterangan terkait permohonan uji materi. "Dan pemutusnya hakim, jadi kontrol bukan di Pak Jokowi," katanya.
Sedangkan opsi legislative review, menurut Bivitri, Jokowi tidak memiliki kontrol meskipun punya andil. Dalam situasi normal, kata dia, melakukan legislative review tidaklah mudah. Apalagi DPR dalam waktu dekat akan berganti anggota.
Setelah dilantiknya anggota DPR periode baru, setidaknya mereka akan membentuk pimpinan, komisi-komisi, dan alat kelengkapan dewan, lalu membuat program legislasi nasional. Bivitri memperkirakan, pembahasan undang-undang baru akan dilakukan setelah Februari 2020.
"Dari sekarang ke Februari itu baru prolegnas ya, belum bahas undang-undang. Waktunya sangat panjang dan damage-nya kekacauan yang dihasilkan oleh KPK dengan desain sekarang sudah akan sangat parah. Jadi yang bisa dikontrol Pak Jokowi penuh pada saat ini perpu," kata dia.