TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pakar hukum tata negara menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi belum terlambat meminta pengesahan RKUHP ditunda.
Pakar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar menjelaskan, berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ada lima tahap pembentukan UU. Yakni; pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan dan pengundangan.
"Pengajuan dan pembahasan memang sudah selesai, tetapi persetujuan dan pengesahan harus di paripurna. Nah, kan paripurna tanggal 24 September, artinya memang belum telat. Presiden masih bisa menunda," ujar Arifin saat dihubungi Tempo pada Ahad, 22 September 2019.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menambahkan, dalam Pasal 69 ayat (3) UU 12/2011 disebutkan, dalam hal RUU tidak mendapat persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR, maka RUU tersebut bisa batal disahkan dalam periode ini.
"Jadi, nanti waktu paripurna, pihak pemerintah bisa menyatakan ketidaksetujuannya dan itu akan membuat RUU tidak jadi disahkan menjadi UU. Dan saya yakin, presiden juga sudah berbicara dengan partai-partai koalisinya untuk juga meminta penundaan," ujar pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan ini, saat dihubungi terpisah.
Jumat lalu, Presiden Jokowi meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunda pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Padahal, Jokowi mengutus Menkumham Yasonna Laoly membahas RKUHP bersama DPR dan telah menghasilkan keputusan; membawa RKUHP ke pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna untuk segera disahkan.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut Jokowi terlambat mengambil keputusan, karena rapat bamus sudah digelar dan jadwal paripurna sudah ditetapkan pada Selasa, 24 September 2019. "Sudah terlambat," ujar Fahri Hamzah lewat pesan singkat kepada Tempo pada Jumat malam, 20 September 2019.
Sejumlah pakar menyebut Jokowi belum terlambat. Pakar Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, jika pemerintah dalam hal ini presiden tidak sepakat pengesahan RKUHP disahkan periode ini, maka RKUHP bisa batal disahkan.
"Di UU administrasi pemerintahan, Presiden juga bisa saja menerbitkan surpres baru yang berisi pencabutan persetujuan (pengesahan RUU). Dengan surpres itu, dari sekarang juga bisa dicabut," ujar Feri Amsari saat dihubungi, Jumat lalu.
Kalangan aktivis belakangan ini mengecam RKUHP karena terlalu banyak mengatur masalah pribadi dan urusan yang remeh. Hal ini hanya akan mewujudkan negara yang berkuasa mutlak atas penduduk atau negara yang ditakuti oleh rakyatnya.