Berbeda dengan klaim Himawan, sumber Tempo yang mengetahui pembahasan RUU Pertanahan di tingkat pemerintah menyebut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum satu suara dengan Kementerian ATR.
Dalam rapat Kamis, 12 September bersama Wapres Jusuf Kalla, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar meminta agar RUU Pertanahan itu tak buru-buru disahkan.
Menurut dia, Siti protes karena draf yang dipaparkan ATR di depan JK berbeda dengan hasil rapat panja dengan DPR tiga hari sebelumnya. "Dari tata norma pembuatannya agak aneh, harusnya kalau sudah disepakati tidak berubah-ubah lagi," kata dia.
Siti Nurbaya belum bisa diwawancarai. “Saya masih di lapangan,” kata dia. Adapun Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono tak merespons pesan dan panggilan Tempo.
Namun beda suara antarkementerian bukan kali pertama ini terjadi. Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga sempat protes lantaran RUU Pertanahan memuat pasal mengenai ruang air dan pesisir. Lewat surat kepada Presiden Joko Widodo 21 November 2018, Susi meminta agar RUU Pertanahan hanya mengatur tentang rezim pertanahan.
“Ruang di atas tanah berupa air tidak perlu diatur dalam RUU Pertanahan, dengan pertimbangan pengaturan ruang telah diatur dalam undang-undang tersendiri,” kata Susi dalam suratnya.
Susi juga meminta agar kata ‘air’ dihapus dalam pengertian hak atas tanah. Dia mengingatkan, di perairan atau laut hanya berlaku izin lokasi perairan sesuai dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014.
Mengutus Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti dalam setiap rapat, KKP mendesak agar permintaan itu diperhatikan. Dalam rapat akhir Agustus lalu, JK menerima usulan tersebut.
Brahmantya enggan berkomentar perihal ini. Dia cuma membenarkan Susi pernah mengirim surat tersebut kepada Presiden. "Sekarang sudah clear," kata dia.