TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan ada perubahan bentuk pendanaan aksi terorisme yang terjadi dalam dua tahun belakangan. Pelaku lebih banyak melakukan pendanaan pribadi (self funding), dalam menjalankan aksinya.
"Saat ini kecenderungan ke arah sana. Ini lebih sulit diatasi dalam hal pendanaan terorisme," kata Kiagus saat ditemui di acara hasil terbaru National Risk Assessment (NRA), Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pencucian Terorisme, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Selasa, 17 September 2019.
Kiagus mengatakan pola pendanaan semacam ini sulit dilacak. Tak seperti pendanaan teroris di masa lalu yang menggunakan dana besar untuk aksinya. Dana ini umumnya terlacak karena aliran dana besar jarang dilakukan secara langsung.
Sedangkan para teroris self funding ini, kata Kiagus, mengandalkan dana dari usaha kecil-kecilan yang mereka miliki. "Dia punya usaha tapi skalanya kecil dan cash basis. Bisnisnya usaha kecil-kecilan, service handphone, jual pulsa," kata dia.
Hal ini kemudian diperkuat dengan jenis serangan teroris yang terjadi beberapa tahun belakangan. Kiagus mengatakan bom yang digunakan biasanya dibuat dengan bahan yang tak terlalu mahal, seperti bom panci.
Meski begitu, Kiagus mengatakan peningkatan teroris self funding tak berarti membuat pendana terorisme besar berhenti. Ia menyebut saat ini PPATK sedang menyelidiki pendanaan terorisme berbasis bisnis yamg cukup besar.
"Tapi biasanya belum tentu dia melakukan operasional, jadi pendanaan saja," kata Kiagus.
Dari paparan NRA, profil berisiko tinggi pelaku pendanaan terorisme terkini, berasal dari pedagang atau wiraswasta atau pengusaha. Selain itu, PPATK juga mewaspadai adanya ancaman baru berupa pendanaan cross border payment berbasis online dan pembawaan uang tunai lintas batas negara.