TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjadi sasaran kritik karena menyetujui pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi alias revisi UU KPK bersama DPR.
Rupanya, Jokowi setuju dibentuk Dewan Pengawas KPK dan wewenang penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) sesuai draf revisi UU KPK versi DPR. Dua substansi tersebut dinilai kalangan pegiat antikorupsi sebagai upaya menggembosi wewenang KPK.
Jokowi ternyata memiliki usulan yang berbeda tentang SP3, berkaitan dengan jangka waktu penerbitannya.
"Jika RUU inisiatif DPR memberi batas waktu 1 tahun, kami minta ditingkatkan menjadi 2 tahun supaya memberikan waktu memadai bagi KPK," kata Presiden Jokowi dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, hari ini, Jumat, 13 September 2019.
Jokowi mengungkapkan alasannya menyetujui wewenang penerbitan SP3 oleh KPK. Dia berbicara didampingi Mensesneg Praktikno.
Menurut dia, penegakkan hukum harus tetap menjunjung prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia dan epastian hukum. Yang penting, dia berpendapat, ada kewenangan KPK untuk memberikan SP3 yang bisa digunakan atau pun tidak.
Presiden menjelaskan bahwa ia telah mempelajari dan mengikuti secara serius masukan-masukan dari masyarakat, pegiat antikorupsi, dosen, mahasiswa, dan tokoh-tokoh bangsa yang menemuinya.
Jokowi mengungkapkan bahwa UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 sudah berusia 17 tahun. Maka perlu ada penyempurnaan secara terbatas agar pemberantasan korupsi makin efektif.
"Sekali lagi, kita jaga agar KPK tetap lebih kuat dibanding lembaga lain dalam pemberantasan korupsi," ucap Presiden Jokowi.
Dalam rapat kerja pertama antara pemerintah dan DPR membahas revisi UU KPK tadi malam, Kamis, 12 September 2019, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly hadir mewakili pemerintah. Dia pun membacakan tiga pendapat dan pandangan Presiden Jokowi mengenai revisi tersebut.
"Pada prinsipnya pemerintah menyambut baik dan bersedia melakukan pembahasan bersama dengan DPR RI," kata Yasonna.