TEMPO.CO, Yogyakarta - Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menganugerahi gelar Doktor Honoris Causa kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pemberian gelar kehormatan itu atas kiprahnya sebagai gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta) yang sangat intens dalam gerakan kebudayaan. Tentu saja sebagai raja melekat dengan jabatan itu.
“Promotor sudah menyiapkan sejak satu setengah tahun yang lalu,” kata Sutrisna Wibawa, Rektor UNY, Selasa, 3 September 2019.
Sultan dianugerahi gelar kehormatan di bidang manajemen pendidikan karakter berbasis budaya. Secara resmi, penganugerahan gelar kehormatan ini akan diberikan pada 5 September 2019 lusa.
Sutrisna mengatakan sejak Sultan dilantik menjadi gubernur, 3 Oktober 1998, ratusan makalah atau sambutan, baik yang berupa makalah kunci di berbagai seminar dan konferensi, maupun yang berupa buku dan atau artikel di media massa cetak, hampir semuanya mengisyaratkan pandangan dan keyakinannya terhadap pentingnya pendidikan karakter dalam konteks nation and character building. Baik secara eksplisit maupun implisit.
Bagi Sultan, pendidikan itu secara keseluruhan hendaknya selalu dimaknai sebagai proses pembudayaan, dan bukannya sebagai penjinakan sosial-budaya.
Ia juga selalu menekankan pentingnya bangsa yang bermartabat.
Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi budayanya. Kebesaran atau potensi-potensi kebesaran suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh satu faktor.
Pertimbangan pemberian gelar kehormatan ini antara lain lahirnya Kurikulum Berbasis Budaya, berdirinya Akademi Komunitas, munculnya desa-desa budaya dan para pendampingnya. Lalu pemberian penghargaan seni dan budaya secara periodik kepada seniman dan budayawan DIY, dan berbagai macam aktivitas seni budaya lain yang tak terhitung jumlahnya.
“Semuanya menunjukkan bahwa selaku Gubernur DIY, Sri Sultan HB X tidak hanya bernarasi tentang pentingnya budaya sebagai basis pendidikan karakter, tetapi melaksanakannya. Bahkan, tidak hanya melalui jalur formal,” kata promotor Suminto A. Sayuti.
Filosofi yang mengonstruksi ke-Yogya-an misalnya, tugu golong-gilig, garis imajiner Utara-Selatan. Selaku gubernur, Sultan menyadari bahwa Yogya sebagai taman sari-dunia nilai-nilainya hanya akan menjadi wastra lungset ing sampiran. Atau pakaian kusut di penganugerahan jika tidak diimplementasikan sesuai dengan perkembangan zaman.
“Termasuk bagaimana pendidikan karakter dikelola dan dilaksanakan dengan berbasis budaya,” kata dia.
Sebelumnya, Sultan sudah pernah menerima anugerah gelar honoris causa sebanyak enam kali. Yaitu dari universitas di Korea, Tazmania, Malaysia, Turki, Universitas Gadjah Mada dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
MUH SYAIFULLAH