TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Kepolisian Daerah Papua, Bekto Suprapto, mengatakan masalah pokok dan paling mendasar di Bumi Cendrawasih itu karena adanya perasaan ketidakadilan sejak terintegrasi dengan NKRI. "Ini masalah feeling injustice khususnya kaitan dengan perlakuan," kata Suprapto dalam diskusi di Jakarta, Sabtu, 24 Agustus 2019.
Suprapto mengatakan, perasaan ketidakadilan itu muncul karena cara pandang masyarakat terhadap Papua tidak menggunakan kacamata Papua. "Jadi segala sesuatu dilihat dari kacamata Jakarta, orang Papua bodoh, malas, susah diajak bicara. Bukan itu. Kita harus paham bagaimana masyarakat Papua," katanya.
Selain itu, Suprapto juga melihat bahwa dua bab dalam UU Otonomi Khusus Papua yang terabaikan menjadi pemicu perasaan ketidakadilan itu. Bab tersebut di antaranya memuat bahwa aparat kepolisian yang ditugaskan di Papua harus mengetahui adat, istiadat, dan budaya Papua.
Kemudian, dalam pendidikan Akpol maupun Sespim, wajib ada pemahaman tentang adat istiadat, budaya, dan filosofi Papua. Kedua bab tersebut, kata Suprapto, terabaikan. Padahal, hukum adat yang hidup di masyarakat paling kuat berada di Papua. "Ini kurang mendapat perhatian cukup," kata dia.
Karena terabaikan, aparat yang ditugaskan di Papua tidak memahami bagaimana pola hubungan orang Papua. Misalnya, hubungan orang Papua dengan alam. Suprapto menjelaskan, kepala suku di Papua ada lebih dari 300 dan sering melakukan perang suku. Karena masing-masing suku memiliki wilayah imajiner yang berkaitan dengan perburuan.
Suprapto menjelaskan, banyak polisi, jaksa, dan hakim yang bertugas di Papua hanya memikirkan hukum positif. Padahal, orang Papua lebih senang diselesaikan secara adat yang murah, cepat, dan merasa adil, juga tuntas.
"Pikirannya hukum positif. KUHP KUHAP. Ini masalah. Karena perang suku adalah mekanisme penyelesaian masalah berdasarkan budaya, namun dipandang kerusuhan," ujarnya.