TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber, yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan sipil. Mereka menilai dari draf yang muncul, RUU Keamanan Siber ini memberi wewenang yang terlalu besar bagi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
"Hal ini salah satunya nampak dari pemberian wewenang yang sangat besar bagi BSSN untuk melakukan tindakan penapisan (screening) konten dan aplikasi elektronik," kata Al Araf dari Imparsial, Ahad, 18 Agustus 2019, di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan.
Dalam rumusan RUU itu, disebutkan penapisan konten dan aplikasi elektronik dilakukan terhadap konten yang berbahaya. Namun, tak ada penjelasan definisi dan kriteria dari bahaya yang dimaksud.
Al Araf mengatakan RUU itu juga menyebut BSSN berwenang menentukan cakupan dan prosedur lanjutan dalam menangani perkara.
"Dari ketentuan ini, jelas terlihat bahwa RUU ini gagal menerjemahkan aspek penghormatan terhadap hak asasi manusia, karena dari perumusannya justru berpotensi akan mengancam kebebasan sipil," ujar Ikhsan Yosairi dari SETARA Institute.
Dengan porsi kewenangan yang begitu besar bagi BSSN, Ikhsan mengatakan RUU juga tak menghadirkan kerangka pengawasan bagi pelaksanaannya. Hal ini ia nilai berpotensi bagi adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Besarnya wewenang ini, juga dikhawatirkan justru membuat terjadinya tumpang tindih kewenangan antar lembaga lain. Ia mencontohkan fungsi penapisan konten dan aplikasi elektronik, selama ada di Undang-Undang Informasi dab Transaksi Elektronik.
Koalisi pun mengkritisi pembahasan RUU yang dibahas secara tergesa-gesa dan tanpa partisipasi publik. "Kondisi ini menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan di balik pembahasan RUU ini," kata Al Araf.
Atas dasar ini, Koalisi Masyarakat Sipil meminta afar Dewan Perwakilan Rakyat menunda proses pembahasan RUU ini. Mereka juga diminta mengkaji ulang kebutuhab keamanan siber, identifikasi aktor dan kebutuhan tiap sektor, serta lebih banyak melibatkan pemangku kepentingan.
Selain itu, mereka juga meminta perumusan RUU Keamanan Siber ini menggunakan pendekatan berbasis hak asasi manusia. "Hal ini demi menjamin keamanan individu, protokol, perangkat, data, jaringan, dan infrastruktur lainnya. Bukan sebaliknya, justru mengancam kebebasan sipil dan menciptakan ketidakamanan individu," kata Ihsyan.