TEMPO.CO, Jakarta - Tokoh Nahdlatul Ulama, Salahuddin Wahid atau Gus Sholah, tegas menolak adanya istilah NKRI Syariah yang diusulkan Ijtima Ulama IV PA 212.
"Saya tidak setuju dengan istilah NKRI bersyariah. NKRI bersyariah itu selesai ketika kata-kata dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu dihilangkan, maka NKRI bersyariah juga tidak ada lagi," kata Gus Sholah dalam dialog Pancasila Perekat Kita, Satu Nusa Satu Bangsa di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin, 12 Agustus 2019.
Meski menolak penggunaan istilah NKRI bersyariah, Gus Sholah mengaku tak mempersoalkan. Syariat Islam, kata dia, boleh dijalankan sesuai aturan yang ada. Misalnya menjalankan syariat Islam yang berkaitan dengan pidana Islam atau jinayah yang memang belum diserap ke dalam undang-undang di Indonesia.
Menurut Gus Sholah, ada banyak terjadi peristiwa yang mengancam persatuan Indonesia. Misalnya pada 1945, ketika para tokoh bangsa bicara tentang negara apa yang akan didirikan, muncul dua kelompok. Kelompok satu ingin Islam sebagai dasar negara, sedangkan satunya ingin Pancasila menjadi dasar negara.
Saat itu, komprominya adalah Piagam Jakarta dimana formula sila pertama adalah Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya. "Tapi ini kemudian ditolak pada 17 Agustus dan akhirnya kita menerima sila pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa," katanya.
Setelah muncul Piagam Jakarta, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang ini menuturkan, masih ada keinginan untuk menjadikan Islam menjadi dasar negara. Keinginan itu muncul dari partai-partai Islam yaitu Partai Masyumi, dan Partai NU. Sebelum menjadi ormas, NU merupakan partai dan berjuang supaya Islam menjadi dasar negara.
"Tapi tahun 84, NU menerima secara resmi Pancasila menjadi dasar negara diikuti ormas-ormas Islam lain. Itu lah yang kita pelihara sekarang," kata dia. Karena itu Gus Sholah menolak adanya wacana NKRI Syariah.