TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia menilai Komisi Kejaksaan tidak menjalankan fungsinya sebagai pengawas kinerja Kejaksaan. "Komisi Kejaksaan kok keliatannya kurang perform. Kalau lebih perform kan bisa lebih kencang pengawasannya," kata Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala, saat dihubungi Tempo, Senin malam, 23 Juli 2019. Ombudsman memanggil Komisioner Kejaksaan pekan lalu,
Jumlah laporan masyarakat mengenai kinerja Kejaksaan yang masuk pada 2017 mencapai 118 laporan, 2018 sebanyak 80 laporan, dan 2019 berjalan sebanyak 30 laporan. Dari seluruh laporan itu, substansi yang paling banyak dilaporkan terkait penundaan berlarut mencapai 55 persen.
Dari kinerja selama ini, Adrianus mengatakan Komisi Kejaksaan lebih mengesankan bukan lembaga pengawas, namun lembaga pendamping saja. Apalagi dalam struktur kepengurusan, terdapat sejumlah jaksa aktif yang didapuk menjadi komisioner.
Jaksa-jaksa yang masih aktif masih bisa jadi anggota, bahkan ketua. “Bayangkan, bagaimana jaksa aktif mengawasi jaksa Agung? Kan gak mungkin," kata Adrianus.
Dalam pertemuan dengan Komisi Kejaksaan itu, Ombudsman baru mengetahui jumlah anggaran bagi lembaga pengawas internal itu. Totalnya, Rp 10 miliar. Angka ini menjadi salah satu alasan Komisi Kejaksaan mengenai kinerjanya.
Adrianus mengakui jumlah anggaran itu sangat membatasi ruang gerak Komisi Kejaksaan. Namun tak berarti Komisi Kejaksaan tak bisa berimprovisasi untuk memaksimalkan gerak lembaganya.
Ombudsman mengusulkan pencarian donatur asing untuk pendanaan, atau pembentukan kelompok kerja (pokja) khusus. "Mereka bisa melihatkan berbagi pihak dalam rangka pokja-pokja, sehingga Komisi Kejaksaan bisa mendapat input, masukan, secara lebih luas tanpa harus keluar duit. Ini cara murah," kata Adrianus.