TEMPO.CO, Jakarta - Gabungan kelompok masyarakat sipil memaparkan 15 temuan mereka, dalam kerusuhan 21-23 Mei Mei 2019, di kawasan Jakarta Pusat. Dari temuan itu, mereka mengindikasikan terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam peristiwa tersebut.
"Terindikasi adanya pelanggaran HAM dengan korban dari berbagai kalangan, yaitu tim medis, jurnalis, penduduk setempat, peserta aksi, dan dari berbagai usia," ujar perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur, di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Ahad, 26 Mei.
Adapun 15 temuan itu adalah (1) terkait pecahnya insiden, (2) korban, (3) penyebab kerusuhan, (4) pencarian dalang, (5) tim investgasi internal kepolisian, (6) indikasi kesalahan penanganan demonstrasi, (7) penutupan akses tentang korban oleh rumah sakit.
Selain itu, mereka juga menilai ada: (8) penangangan korban tidak segera, (9) penyiksaan, perlakuan keji, tak manusiawi, dan merendahkan martabat, (10) hambatan informasi bagi keluarga, (11) salah tangkap, (12) kekerasan terhadap tim medis, (13) penghalangan liputan kepada wartawan, (14) penghalangan akses kepada orang yang ditangkap, baik untuk umum maupun advokat, dan (15) pembatasan komunikasi media sosial.
Isnur mengatakan dalam kerusuhan itu, terjadi sejumlah penyimpangan hukum. Mulai dari pelanggaran KUHAP, hingga Konvensi Anti Penyiksaan. Atas dasar ini, koalisi masyarakat sipil itu pun menyampaikan lima rekomendasi.
Pertama, adalah permintaan evaluasi kinerja Polri oleh sejumlah lembaga oversight seperti Ombudsman, Komnas HAM, Kompolnas, dan Komisi 3 Dewan Perwakilan Rakyat.
Mereka juga meminta Polri agar mengumumkan baik kepada publik, lembaga-lembaga oversight maupun jurnalis, rincian laporan penggunaan kekuatan saat kerusuhan terjadi.
"Sudah lama, Polri selalu mengklaim menggunakan kekuatan sesuai prosedur dalam menghadapi aksi massa atau menyergap terduga pelaku kriminal, tanpa disertai akuntabilitas yang jelas lewat publikasi pelaporan semacam ini," kata Isnur.
Selain itu, mereka juga merekomendasikan penyidik Polri agar mengirimkan surat tembusan pemberitahuan penahanan kepada masing-masing keluarga yang ditahan. Dari temuan mereka, banyak terduga pelaku tak mendapat surat penahanan, baik untuk mereka maupun untuk keluarga.
"Ini menyebabkan banyak keluarga juga kebingungan mencari di mana anggota keluarga terkait ditahan," kata Ketua Umum YLBHI Asfinawati.
Data dari pihak rumah sakit terkait korban kerusuhan juga diminta agar lebih transparan. Hal ini, kata dia, kerap membuat simpang siur data yang ada di masyarakat.
"Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Ombudsman dengan melibatkan masyarakat sipil perlu menyelidiki lebih lanjut tentang insiden ini. Menemukan dalang di balik peristiwa, guna mencegah keberulangan peristiwa dan impunitas di masa mendatang," kata Asfinawati.
Adapun koalisi masyarakat sipil yang ikut bergabung dalam hal ini adalah YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen, Lokataru Foundation, Amnesty, dan LBH Pers.
Tempo tengah meminta tanggapan dari kepolisian mengenai temuan dan rekomendasi dari koalisi masyarakat sipil ini.
EGI ADYATAMA